Lihat ke Halaman Asli

E Fidiyanto

Wartawan Muda

Bersama Anita

Diperbarui: 17 Desember 2018   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Hari Minggu, balutan mendung aku berboncengan dengan seorang gadis yang mengajakku jalan tempo hari. Meski cuaca kurang cerah, tak menyurutkan niat si resepsionis rumah sakit yang cantik ini untuk menjelajahi puncak Malio bersamaku. 

Terus terang, ini kali pertama aku berboncengan dengan gadis cantik. Biasanya, paling banter aku jalan sama Zubaidah yang sudah punya anak. Yang banyak orang menyangka aku adalah suaminya. Rupanya pukul tujuh pagi, Anita sudah dandan dan menungguku di beranda rumahnya.

Perjalanan kali ini akan memakan waktu cukup lama. Menyusuri perbukitan yang rimbun. Jejeran pohon pinus menyisakan bau yang menyengat di sepanjang jalan. Kabut putih masih membalut sela-sela ranting pohon. 

Bebar-benar sejuk. Sesekali aku menarik nafas panjang menghirup udara segar yang sudah lama aku tak menikmatinya. Jalanan Pantura memang meninggalkan banyak polusi. Sepanjang jalan Anita bercerita soal apapun. 

Sayangnya, perjalanan ke tempat wisata tersekat hujan lebat. Aku mampir di warung kopi langganan para penderes karet pinus. Di pinggiran jalan. Sudah sampai di puncak Malio. Puncak tertinggi di ujung barat daya Brebes. 

Sekedar menghangatkan tubuh aku memesan kopi kesukaanku. Sementara Anita tampak sedikit basah. Hingga tembus warna kutangnya warna merah jambu motif kembang-kembang. Ia mulai kedinginan. 

Di balik bajunya yang basah, kemungkinan bulu-bulu halus di sekitar puting susunya berdiri. Merinding aku membayangkannnya. Kulepas jaketku dan kukenakan pada Anita. 

Sayang, aku tak mau ia jadi pemandangan gratis para lelaki penderes karet pinus. Memang, kadang wanita tak sadar dengan penampilannya yang memancing syahwat para lelaki, hingga timbullah kejahatan di mana-mana.

Ngomong soal kopi, yang kupesan tadi ternyata bagi orang Jawa mengandung filosofi: Kopi, sebuah akronim 'kopyor pikire' namun sepahit-pahitnya kopi masih ada rasa legi 'legawa ning ati', maka dari itu harus ditambakan gula 'gulangane rasa' yang berasal dari tebu 'anteb ing kalbu'. 

Setelah itu diwadahi cangkir 'nyacangne pikir'. Dan jangan lupa disiram wedang 'wejangan sing marake padang'. Selanjutnya harus diudheg 'usahane ojo nganti mandeg'. Ditunggu sebentar biar agak adem 'atine digawe lerem'. 

Yang terakhir, diseruput 'sedoyo rubedo bakal luput'. Itulah filosofi kopi yang dikaitkan dengan kehidupan manakala manusia hanya bisa berkeluh kesah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline