Lihat ke Halaman Asli

E Fidiyanto

Wartawan Muda

Cemburu Zubaidah

Diperbarui: 10 Desember 2018   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya sekarang harga bawang merah murah. Hujan hampir saban hari. Ini bikin petani rugi karena panen dini." cerita juragan Darmaji saat aku berkunjung di lapak bawangnya.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk lantaran tak begitu paham soal pertanian. "Betul, kemarin di wilayah utara ratusan hektar bawang kena banjir, jadi petani langsung panen. Padahal umurnya baru 40," kataku, mengunyah singkong rebus sungguhan juragan Darmaji.

Memang, bawang itu untung-untungan. Sekali mahal, modal bisa kembali berlipat-lipat. Tapi sekali anjlok, jangan harap balik modal. Banyak petani stres karena harga anjlok, mereka memanfaatkannya untuk bibit baru. Begitu seterusnya. Petani di Kota Bawang ini jadi tulang punggung pembangunan. Mereka seolah memiliki peran istimewa. Tepatnya sebagai ujung tombak kemajuan daerah yang menjadi sentra bawang merah, juga pemasok utama di Indonesia. Dari dulu terkenal seperti itu, tapi sebagai kabupaten terluas nomor dua di Jawa Tengah, seolah pengelolaan yang kurang maksimal menjadikan Brebes sebagai penerima predikat kabupaten termiskin. Itu semua tergambar dari cerita orang-orang yang aku temui.

"Loh katanya mau mampir ke kedai punyaku," ungkapnya tiba-tiba sambil mendekati aku dan juragan Darmaji yang sedang asyik ngobrol ngalor-ngidul.

"Nanti, Kang. Pasti mampir," timpalku sambil menjabat tangannya yang kapalan. Dengan langkah gontai dan nafas kembang-kempis rupanya ia ingin ikut nimbrung dalam obrolan kami.

"Monggo diseruput kopinya. Kalau orang sepertimu pasti sibuk ya," katanya sambil mengipasi lehernya dengan topi lusuhnya.

Aku membalasnya dengan senyum.

Di lapak bawang milik juragan Darmaji kami ngobrol soal tetek bengek permasalahan yang ada di Brebes. Bahkan dengan pengetahuan yang pas-pasan, kami bebas saja ngobrol soal politik. Apalagi ini sudah mendekati musim Pilkada. Para petani banyak yang mengaku dijanjikan ini itu dengan blusukan ke tengah sawah. Rela panas-panasan dengan aroma lumpur demi tercapainya suara yang unggul. Tak hanya soal politik, masa lalu pun mereka bicarakan dengan lepas canda tawa, seolah begitu cepat berganti topik pembicaraan tanpa disadari. Obrolan itu mengalir begitu saja. 

Tentu aku tak mengerti soal pertanian. Sawah tak punya, bukan pula sarjana pertanian. Aku lulus dengan ijazah keguruan yang dibiayai dari hasil laut. Bapakku seorang nelayan yang saban hari hampir tak lihat daratan. Alasanku tak menjadi guru sebenarnya cukup klasik. Gaji yang pas-pasan itu sudah cukup membuatku muak. Apalagi guru honorer katanya bayarannya disunat sana-sini. Tak ada kata yang menjadi alasan untuk mengatakan ini semua sinting lantaran perjuangan seorang guru berada di ketiak pemangku kebijakan. Sejauh apapun, seberat apapun tugas yang diemban guru honorer, tetap saja gajinya di ketiak orang-orang di atasnya, hingga mereka sedia saja menjilati keringatnya.

Usai berbincang di lapak bawang, hari kian petang. Tapi aku sempatkan mampir di kedai susu milik Zainudin. Tak enak hati aku terus menolak ajakannya. Sekalian juga menjalin paseduluran dengan orang-orang yang baru kukenal lewat perbincangan yang bermula di tengah sawah. Toh tak ada salahnya. Semakin banyak orang kenal, semakin banyak pula rezeki lewat perantara mereka. Itulah sedikit pepatah orang kuna blirik, yang memang lebih baik dalam menjaga silaturahmi kepada siapapun. Demikian hakikat orang jawa yang diajarkan para leluhur. Tapi, yang demikian itu sekarang ini sulit didapat. Kebanyakan, orang-orang ditemukan hanya dalam satu kepentingan. Ini yang mungkin bisa disebut generasi edan. Bagaimana mungkin orang bisa berpikir waras jika masih ada maksud tertentu.

Di kedai susu Zainudin, aku disuguhi singkong rebus yang ditabur parutan kelapa dan lelehan keju. Kombinasi rasa yang sederhana tapi membuat candu lidah orang kampung. Makanan tradisional yang dikemas modern tentu lebih menarik dan bukan tak mungkin lebih laku di pasaran. Tak hanya itu, banyak kreasi makan tradisional hasil resep Zainudin yang dikemas cukup apik. Gemblong, dodol, bahkan gatot, makanan orang dulu, di kedai susu miliknya menjadi olahan yang sempurna. Tak jarang muda-mudi numpang pacaran di kedai lesehan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline