Lihat ke Halaman Asli

E Fidiyanto

Wartawan Muda

Cerpen | Pinggiran Kota

Diperbarui: 25 Agustus 2018   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Segelas kopi biasa kunikmati di waktu pagi sebelum menyisiri pelosok kota. Entah mengapa aku lebih damai dan merasa terpenuhi tanggung jawabku ketika menjumpai orang-orang pinggiran yang kebanyakan sering mengeluh soal hak-haknya. Berseloroh dengan mereka adalah cara terbaik bagaimana untuk menghargai peluh mereka yang sesekali diusap dengan jemari tua.

Kusulut sebatang rokok sebagai pelengkap kopi pagi. Sambil membaca koran di beranda rumah, aku masih terus memikirkan nasib Zubaidah, sampai hampir kulupa hari ini ada janji dengan Darmaji, seorang juragan bawang di Desa Larangan. Sebuah desa pinggiran kota. Kebanyakan petaninya menanam bawang merah. Bergegaslah aku menemuinya.

Ia mengeluhkan hasil panennya tak semoncer tahun lalu. Kali ini harga bawang di kota sentra bawang merah anjlok. Bagaimana ini, harga bawang anjlok! Banyak petani merugi. Kurasa dari masa tanam sampai panen nggak ada kesalahan. Kasihan nasib para kuli, keluhnya ketika kutemui di gubuk tengah sawah.

Dari kejauhan para buruh tani tampak kelelahan memikul hampir satu kwintal bawang merah sekali pikul. Mereka tak begitu mengerti harga bawang, yang mereka tahu adalah bayaran dari juragan Darmaji untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mayoritas di antara mereka berusia tua, namun bahunya masih sanggup memikul hingga belasan kali.

Salah seorang buruh tani usia muda, kira-kira belum sampai tiga puluh menghampiriku. Senyumnya ramah. Sesekali mengusap keringat di dahinya dengan handuk kecil yang lusuh. Ia menyuguhiku minum. Nafasnya kembang-kempis dan hampir menetes keringat di bulu matanya. Lama baru main ke sini lagi Mas, ke mana saja? tanyanya.

"Ada janji sama Juragan Darmaji untuk menggali harga bawang saat ini," jawabku.

Buruh tani itu membuka perbincangan lebih mendalam. Ia bercerita soal usahanya yang pelan-pelan mulai merintis. Ia membuka kedai susu murni dan memiliki dua karyawan. Meskipun punya usaha, ia tetap bekerja keras sebagai buruh tani.

"Aku percayakan kedai susu itu kepada karyawanku, sementara aku lebih asyik menghabiskan waktu di tengah sawah. Sempatkanlah mampir di kedaiku, tak jauh dari Kantor Kuwu,"

Tak kusangka, seorang buruh tani yang tampangnya identik dengan lumpur sawah telah memiliki dua karyawan di usahanya. Oh ya, mampirlah ke rumahku. Ada di belakang kedai. Aku tinggal sendiri, dan butuh teman, sambungnya. Ia kembali memikul bawang merah milik Darmaji yang baru saja dipanen.

Aku hampir saja lupa menemui Zubaidah. Kemilau jingga mulai nampak dari ujung langit barat. Satu per satu petani mulai menaruh cangkul di pundaknya. Ada pula yang membawa arit. Mereka pulang dengan langkah gontai. Tak terasa perbincangan dengan para petani di Desa Larangan ini telah mengantar di bibir senja. Aku pun berpamit pada Juragan Darmaji.

Kulihat Zubaidah tampak murung. Anaknya dibiarkan lari-lari di alun-alun kota. Dengan baju yang bolong-bolong tentu saja anak-anak lain yang seusianya ketakutan lantaran penampilannya yang tak senecis dirinya. Bahkan mungkin ada yang mengira itu anak orang gila atau gelandangan yang tak terurus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline