[caption id="attachment_342186" align="aligncenter" width="558" caption="Jokowi vs Prabowo — www.pemilu.com"][/caption]
Aku bukan orang bertipe "obah mamah", gelem obah yen ono sing dimamah — artinya: baru mau bergerak jika sudah jelas ada imbalan materialnya yang bisa dinikmati (mamah = kunyah) sekarang ini .
Maka aku tidak seperti engkau yang berkata "ngapain ribut sih, siapapun presidennya nanti kita juga nggak bakal dapat apa-apa". Bagiku ini bukan soal aku dapat apa jika capres dukunganku menang. Secara langsung jelas aku nggak dapat apa-apa, tapi itu adalah caraku untuk mencoba ikut berpartisipasi memperbaiki keadaan di masa depan, buat anakku, dan cucuku, nanti, dengan cara mendukung kandidat yang menurut kriteriaku tepat. Seperti sepakbola itu, tentukan mana klub pilihanmu lalu dengan penuh antuisiasme dukung dan beri mereka semangat tanpa menghitung "dapat apa" kalau klub pilihanmu itu keluar sebagai pemenangnya dalam laga final. Setelah itu sepanjang musim laga ya saya tinggal enjoy the game, and feel the adrenalin rush into my blood.
Aku tidak menudukung orangnya, apalagi partainya, tapi mendukung prinsip paling mendasar dari demokrasi yang diwakili orang itu. Dalam hal ini Jokowi merepresentasikan salah satu unsur terpentingnya yaitu "kandidat presidensial bukan berasal dari elite partai" dan itu akan memicu terbentuknya sistem kaderisasi yang lebih berbasis kompetensi ketimbang dinasti atau faktor primordial lainnya .
Kenapa prinsip itu yang aku dukung? Sebab selama ini yang terjadi adalah orang bikin partai hanya dalam rangka menjadikan dirinya sendiri presiden. Wiranto kagol di Golkar lantas bikin partai sendiri dan nyapres. Prabowo dan Sutiyoso juga begitu. Pak Djenggot Nasdem juga setali tiga uang. Harry Tanoe gagal bikin jaringan nasional yang disyaratkan UU lantas belok kiri-kanan nggak karuan: ikut Hanura tapi keok, lantas pecah kongsi dan gabung ke Prabowo. Yuzril Ihza Mahendra "mencak-mencak" di Mahkamah Konstitusi berjuang menurunkan electoral threshold agar dirinya bisa ikutan nimbrung nyapres lewat Bulan Bintang.
Partai yang sudah ada sejak jaman dinosaurus juga nggak kalah parahnya, orang berebut memasuki lingkaran elit dan mengincar posisi Ketua Umum lewat politik uang dan aneka intrik karena Ketum bisa dipastikan bakal jadi Capresnya jika elektoral memenuhi. Kalau elektoral jeblok, "terserah Ketua Umum mau dibawa ke mana arah koalisi partai kami" — ujungnya "ente wani kasih piro".
Kalau terus menerus seperti itu modelnya maka politik hanya menjadi ajang permainannya kaum elite borjuis memperkaya dirinya sendiri dengan memainkan apapun isu yang bisa dimainkannya.
DEMOCRACY is when every free citizen has authority and OLIGARCHY is when only the rich have it. DEMOCRACY is when there is a majority of free, poor men who have authority to rule, while OLIGARCHY is when it is in the hands of the wealthy and well-born, who are a minority. In democracies, everyone has a share in everything.
— Aristotle
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H