Lihat ke Halaman Asli

Saya tentang Pajak, Memelihara Reformasi Birokrasi dan Mengembalikan Rasionalitas Masyarakat (Bagian 2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13312593821010087474

[caption id="attachment_175494" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]

Prolog

Tulisan ini adalah lanjutan bagian 1 yang ditulis minggu lalu, menjadi lama karena kebingungan memadatkannya. Saya hanya berharap pada tulisan kedua ini: saya tidak terlalu membosankan J.

Spesies Baru Bernama Reformasi Birokrasi dan Remunerasi.

“Government machinery (red. Bureucracy) has been described as a marvelous labor saving device which enables ten men to do the work of one.”

John Maynard Keynes (Founding Father Keynesian Economics)

Seiring adanya kembali dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai pajak, para tokoh politik menyampaikan opini melalui media bahwa reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dinilai gagal. Opini ini dengan gencar diulang pada tiap kesempatan, kegagalan ini disebabkan oleh ketidakmampuan sistem (dalam hal ini: remunerasi) dalam mencegah oknum-oknum semacam Gayus atau DW.

Sebelum menilai reformasi birokrasi itu gagal atau tidak, terlebih dahulu kita perlu tahu binatang bernama ‘reformasi birokrasi’ itu apa? apa yang membedakannya dengan birokrasi yang kita kenal? Definisi Reformasi Birokrasi adalah suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi, pelayanan publik yang dipercaya dan tujuan pembangunan nasional (Quah, 1976). Aktivitas reformasi birokrasi antara lain: change, improvement, serta modernization.

Reformasi birokrasi, secara khusus pada Kementerian Keuangan terdiri dari 3 pilar: Penataan Organisasi, Penyempurnaan Proses Bisnis dan Peningkatan disiplin dan Manajemen SDM. Saya meluangkan waktu untuk melihat tulisan tentang reformasi birokrasi pada kompasiana, pada link berikut http://birokrasi.kompasiana.com/2012/02/28/harga-mahal-reformasi-birokrasi-djp/ dan http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/03/01/reformasi-birokrasi-direktorat-jenderal-pajak-itu-ada/ rekan Prabu Kresna dan Fajar Triyanto menjelaskan dengan sangat baik dan rinci mengenai reformasi birokrasi yang terjadi di Ditjen Pajak. Selain di Ditjen Pajak, semua unit eselon I Kemenkeu juga melakukan reformasi birokrasi menyangkut ketiga pilar tersebut.

Pada penyempurnaan proses bisnis, ribuan Standard Operating Procedure dievaluasi, kemudian diperbaiki demi kemudahan stakeholder. Misalnya: penerbitan SP2D (perintah pendebetan atas beban APBN) pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan yang sebelumnya 8 jam hingga satu hari kini bisa dilakukan dalam waktu 1 jam, Prosedur revisi Dokumen Anggaran pada tiap unit pengguna dana APBN dipersingkat, pemisahan kewenangan antara perencanaan anggaran serta pelaksanaan anggaran serta modernisasi kantor pelayanan. Pada penataan organisasi, terjadi restrukturisasi besar-besaran pada tahun 2007 dengan dipecahnya Ditjen Perbendaharaan menjadi Ditjen Kekayaan Negara, Ditjen Pengelolaan Utang, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta Ditjen Anggaran untuk mempertajam fungsi institusi tersebut. Pada peningkatan disiplin dan manajemen SDM, Kemenkeu adalah salah satu institusi yang paling awal menerapkan absensi elektronik, pembuatan sistem informasi kepegawaian, adanya penerapan kode etik pegawai Kemenkeu, adanya asessment center, pembentukan aparat pengawasan internal (semacam internal affair), serta pembuatan whistle blowing system. Kemudian pelaksanaan tiap-tiap bagian ini diukur dengan alat manajemen modern seperti: “Balance Scorecard”, “Risk Management Profiling”, dan lainnya.

Jadi jika birokrasi itu disederhanakan adalah “membuat susah hal yang mudah”, maka tugas reformasi birokrasi membenahinya yaitu: “membuat mudah hal yang susah”. dan jika birokrasi umumnya adalah “sebuah proses yang tidak jelas ukuran outcomenya”, maka tugas reformasi birokrasi untuk “menetapkan ukuran dan memastikan outcomenya”. Sejalan pada kutipan dari J.M. Keynes bahwa birokrasi adalah sebuah mekanisme yang jauh dari efisien maka tugas reformasi birokrasi untuk membenahi proses tersebut menjadi efisien. Namun seingin apapun kita mempercayainya (termasuk saya) apa yang disebut reformasi birokrasi bukanlah barang jadi melainkan sebuah continued process.

Remunerasi, yang selama ini diberitakan oleh media hanyalah bagian penopang kinerja dan kompensasi atas penataan sistem yang dilakukan secara berkesinambungan oleh jajaran Kemenkeu. Remunerasi ini timbul karena ada perhitungan manajemen risiko atas tiap-tiap jabatan pada Kemenkeu: risiko operasional, risiko kepatuhan dan risiko kecurangan (fraud). Sayangnya yang disampaikan media tentang remunerasi itu seolah-olah setiap pegawai Kemenkeu itu memiliki gaji yang luar biasa, padahal tidak, gaji yang diberikan tergantung risiko jabatan/tugas yang ia jalankan dan dilakukan secara berjenjang (job grading). Saya akan memberikan contoh seperti ini, jika anda bertugas menjadi pemeriksa pajak orang-orang yang beromzet 1 miliar perbulan, layakkah gaji anda 4 juta perbulan? Lalu apa yang membentengi anda dari godaan untuk melakukan kecurangan dengan potensi penyimpangan yang memberikan anda pendapatan lebih dari 2x lipat gaji anda? Pada tingkat paling dasar korupsi dapat dibagi menjadi tiga hal: by need (karena kebutuhan), by system (karena ketidaksempurnaan sistem) dan by greed (karena keserakahan). Remunerasi adalah upaya mencegah corruption by need dan bagian dari manajemen risiko terjadinya corruption by system, namun remunerasi tidak dapat mencegah corruption by greed.

Reformasi birokrasi berawal dari paham akan pentingnya good governance (tata kelola yang baik). Adalah keliru jika kita berpikir bahwa korupsi itu hanya terjadi pada lingkungan pemerintah karena korupsi juga terjadi pada lingkungan swasta. Contoh yang paling terkenal adalah Enron Corporation, sebuah perusahaan energi Amerika yang terkemuka di dunia. Fortune menamakan Enron "Perusahaan Amerika yang Paling Inovatif" selama enam tahun berturut-turut. Enron menjadi sorotan masyarakat luas pada akhir 2001, ketika terungkapnya bahwa kondisi keuangan yang dilaporkannya adalah bentuk penipuan akuntansiyang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Kasus itu merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS dan menyebabkan 4.000 pegawai kehilangan pekerjaan mereka. Selain itu, skandal tersebut menyebabkan dibubarkannya perusahaan akuntansi terkemuka Arthur Andersen. Enron menjadi lambang populer dari buruknya governance, penipuan dan korupsi korporasi yang dilakukan secara sengaja. Yang mau saya sampaikan disini: even being extremely rich can not stop greed!

Memelihara reformasi birokrasi

'No problem can be solved by the same consciousness that created it. We need to see the world anew.'

Albert Einstein

Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah bercerita pada kuliah umum Sekolah Tinggi Akuntansi Negara bahwa ketika ia mengajukan program reformasi birokrasi ke DPR ia sedang memasuki sebuah medan pertempuran. Pertempuran dengan stakeholder, dengan internal Kemenkeu serta pihak-pihak lain yang semuanya memiliki vested interest terhadap business as usual dan tidak menghendaki perubahan sistem ke arah yang lebih transparan, efisien dan terukur. Pada workshop Government Finance Statistics, Inspektur Jenderal Kemenkeu, Sony Loho, menyampaikan pula bahwa pada awal penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2005, Kementerian Keuangan mendapat tentangan dari banyak pihak, karena apa? sederhana saja ketika kita membuat laporan yang terstruktur dan terklasifikasi, tentu akan dapat dilaksanakan audit dengan konsekwensi terlihatnya kejanggalan-kejanggalan pada operasional kementerian dan lembaga.

Sebuah ungkapan mengatakan “tidak mungkin kantong anggur lama diisi anggur yang baru, karena anggur baru itu akan merusak kantong anggur lama”, tentu akan sangat sulit sekali untuk orang-orang yang dibesarkan dengan cara lama selama kurang lebih tiga dekade memberikan sikap yang langsung menerima sistem baru yang menuntut transparansi dan akuntabilitas. Dan disinilah tantangan penetapan dasar reformasi birokrasi: mindset changing. Contoh paling sederhana tentang proses mindset changing: Lee Kwan Yew, perdana menteri singapura yang terkenal itu mencanangkan peraturan melarang meludah di tempat umum pada tahun 1980 kemudian melalui proses disiplin yang keras baru benar-benar dijalankan dengan taat dan penuh oleh masyarakat singapura 5 tahun berikutnya. Tentu kita sadar larangan meludah ini eskalasinya sangat berbeda dengan reformasi birokrasi, tapi jika kita coba bandingkan untuk mensosialisasikan larangan meludah pada negara sekecil singapura dengan jumlah penduduk yang sedikit dan demografi yang tidak terlalu beragam membutuhkan waktu sekian tahun apalagi mensosialisasikan sistem baru di Indonesia, yang sangat plural, jumlah penduduk banyak dan gap kompetensi yang timpang antar daerah?

Karena itu, opini yang menyebut reformasi birokrasi gagal, menurut saya adalah kekecewaan prematur atau kebebalan politik, terhadap sebuah proses panjang yang berkesinambungan. Peribahasa “Roma tidak dibangun dalam satu hari” itu mengibaratkan proses jatuh bangun roma sebagai sebuah kota, begitu juga reformasi birokrasi pada Kemenkeu belum pada tahap gagal, melainkan justru harus dipelihara. Keberanian membersihkan oknum-oknum pada internal institusi, baik dari laporan pihak eksternal atau pengawasan internal justru adalah tanda kemajuan dalam reformasi birokrasi. :)

Mengembalikan rasionalitas masyarakat

"and it’s true we are immune, when fact is fiction and tv reality."

U2

Pada tanggapan dari tulisan saya bagian 1, terkesan bahwa saya menyalahkan media atas pemberitaan, tetapi yang benar adalah saya melihat bahwa buruknya kualitas substansi pada media, media hanya mengekspos dampak, hazard, sedangkan yang mengulas akar permasalahan jarang sekali. Memberitakan adanya kasus kecurangan pajak dengan menyampaikan opini bahwa reformasi birokrasi gagal adalah hal yang sangat berbeda.

Publik didorong untuk percaya bahwa penerapan reformasi birokrasi adalah proses yang linear dan pendek waktunya. Padahal reformasi birokrasi adalah proses yang panjang dan lebih sering cara kerjanya nonlinear (terus menerus diperbaiki, dan seringkali tidak beraturan). Dan media tv berita yang sarat muatan politik itu menceritakan persoalan-persoalan teknis dengan setting drama, media-media ini terlihat ‘malas’ dan hanya ingin ‘mengipas’ isu, tanpa menyajikan data yang akurat maupun proses investigasi jurnalisme yang handal. Contoh yang segar dalam ingatan ialah ketika TV One “merekayasa” seseorang untuk mengaku sebagai makelar kasus di Kepolisian RI. Contoh lain adalah ketika televisi menjadi panggung politik dari orang-orang yang punya kepentingan tertentu. Hal seperti itu nyata sekali terlihat dalam acara-acara debat politik atau hukum, para pengamat, politisi atau pengacara berlomba bersuara lebih keras. Tapi sampai pada akhir acara, penonton tidak pernah menjadi tercerahkan pokok permasalahan isu yang diperdebatkan.

Media massa harus bisa melakukan investigasi, mencari informasi yang tersembunyi, menyediakan data, lalu membeberkannya agar publik menjadi paham. Dan pemahaman publik itulah yang pada gilirannya akan dipakai sebagai keputusan ketika memilih sebuah partai atau figur dalam pemilihan jabatan publik atau ketika melakukan tekanan terhadap kekuasaan (Harahap. M, 2010). Contoh paling baik dari koalisi media dan masyarakat adalah Kasus Prita dan Cicak lawan buaya.

Skandal Watergate di AS, yang pada akhirnya berujung pada mundurnya Presiden Nixon, pada mulanya bukanlah hasil dari pekerjaan “Pansus Watergate” di Legislasi AS. Namun dari investigasi dua wartawan The Washington Post. Investigasi tersebut mengundang berbagai pihak untuk secara diam-diam juga memberikan informasi. Salah satu fihak yang sangat terkenal itu adalah “The Deep Throat” yang ternyata adalah personil intelijen AS. Di kemudian hari, setelah kasus itu menjadi isu publik, maka barulah Senat membentuk komisi penyelidikannya. Bandingkanlah apa yang dilakukan oleh media massa AS, dengan media massa Indonesia. Media massa kita hanya menangkap apa yang muncul di permukaan, dan yang umumnya disuarakan oleh para tokoh politik (seperti acara gosip). Skandal Buloggate yang membuat Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dipecat dan Century yang membuat Mantan Menkeu Sri Mulyani mengundurkan diri, menguap dan tidak menarik bagi media untuk diulas ketika ‘isu’ tersebut sudah tidak laku dijual, atau sudah mencapai tujuannya.

Tentu akan sangat baik jika media dan masyarakat bahu-membahu melawan kebobrokan birokrasi, dengan rajin menulis surat pengaduan, dengan mengungkap kasus-kasus yang dipetieskan, dengan memotret persepsi masyarakat atas layanan yang diberikan dengan demikian para birokrat semakin berusaha untuk tidak dipermalukan. Saya sangat menjunjung tinggi gaya citizen journalism saat ini itu pertanda bahwa bangunan “civil society” perlahan tapi pasti terbentuk. Namun yang tidak saya setuju adalah jika media mulai berpolitik membentuk opini tanpa menyediakan data dan informasi yang relevan. Birokrasi (Pemerintahan), Partai Politik, dan Pers berhutang untuk mencerdaskan bangsa ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline