Lihat ke Halaman Asli

Para Patok Hidup Perbatasan

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1424420023223510891

Menjaga perbatasan negara janganlah sekedar dimaknai menjaga benda mati yang ditandai dengan patok atau koordinat-koordinat lintang dan bujur. Ada Sumber Daya Manusia yang justru harus lebih diperhatikan daripada hanya sekedar menunggu tanda simbolis berupa patok. Sering kita dengar banyak warga negara Indonesia yang justru lebih nyaman dan enjoy hidup bersama negara jiran. Mereka mungkin sudah muak dengan segala janji-janji yang melambung tingi, tetapi entah berapa yang ditepati. Janganlah salahkan pula jika mereka tak tahu siapa Presidennya atau bagaimana cara menyanyi Indonesia raya jika sinyal, siaran radio, buku-buku atau guru tak sampai ke tempat mereka tinggal.

Salah satu program pemerintah untuk mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia di perbatasan adalah dengan program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T). Diantara rekan sekalian mungkin lebih mengenal Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan. Programnya hampir mirip dengan Indonesia Mengajar tetapi program ini cakupannya lebih luas dari jenjang PAUD, TK, SMP, SMA dan program ini langsung di bawah Kementrian Pendidikan Nasional. Program ini dibuat untuk ‘menambal’ dulu kekurangan guru di daerah 3T sampai jumlah guru di sekolah tersebut mencukupi sekaligus meningkatkan kualitas sekolah. Setelah setahun mengabdi, maka kami akan dikuliahkan pendidikan profesi guru (PPG) selama setahun dan setelah lulus PPG, ada tawaran menjadi PNS dan kembali ke daerah 3T tersebut. Kebetulan saya dan 4 teman ditempatkan di kecamatan Kayan Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Kayan Selatan berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia.

Kami ditugaskan di SMA N 9 Malinau, Long Ampung, Kayan Selatan, Malinau. Sekolah tersebut masih menumpang di SMP N 1 Kayan Selatan dan baru menjadi negeri 2 tahun terakhir ini. Saat pertama melihat sekolah tersebut, rasa iba langsung menyapa hati. Bagaimana tidak, bangunan sekolah masih terbuat dari kayu yang mulai menua, tidak ada listrik, dan gurunya sering tidak masuk karena mereka hanya honorer. Hanya ada satu PNS yaitu kepala sekolahnya saja. Akses menuju kesini juga susah. Jika melalui jalan darat melalui Samarinda, 3 hari kemudian baru sampai. Cara lain adalah melalui jalur udara menggunakan pesawat perintis dengan waktu tempuh 1,5 jam dari kota kabupaten.

Pengalaman pertama adalah ketika hari pertama masuk sekolah. Kepala sekolah sedang di Samarinda, mengurus hasil Pilkada, sedangkan semua guru yang lain pergi ke kota, mengikuti seleksi CPNS. Hanya tersisa 1 orang TU dan seorang office boy. Saat itu dari 5 orang SM3T, baru 2 orang yang sudah sampai di Long Ampung. Jadinya hari pertama saya langsung mengajar di 2 kelas yakni kelas X dan XI. Pengalaman yang takkan terlupakan.

Selama mengajar di perbatasan, menyadarkan kami bahwa terdapat ketimpangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa. Jika di Jawa sedang ribut-ribut tentang Kurikulum 2013, maka disini, murid dan guru mau masuk pun kami sudahsangat bersyukur. Selain kurangnya motivasi, akses jalan yang tidak bagus juga menjadi kendala. Kami harus pelan-pelan menyadarkan siswa yang malas dan bandel agar mau masuk sekolah.

Beberapa program yang kami buat diapresiasi oleh masyarakat dan dijadikan contoh oleh sekolah lain yang disini. Alhamdulillah untuk pertama kalinya kami bisa mengadakan ekstrakurikuler Pramuka di SMA. Guru dan murid disini hanya mengenakan seragam Pramuka, tetapi tidak tahu apa itu Pramuka. Selain itu yang cukup membanggakan adalah ketika kami bersama PAMTAS dari kesatuan 100/Raider bisa melatih anak-anak SD untuk upacara bendera sendiri. Perlu diketahui, selama 20 tahun SD tersebut berdiri, baru pertamakalinya mereka upacara bendera sendiri setelah kami latih. Suasana terasa khusyuk dan syahdu ketika bendera ditarik dan para bocah-bocah kecil itu melantunkan bait “Indonesia Raya merdeka-merdeka, Hiduplah Indonesia Raya,,,,,”.

Salah satu pengalaman lain yang membuat saya terharu adalah saat hari-H upacara 17 Agustus 2014 kemarin. Itu adalah minggu terakhir kami bertugas disana karena akhir Agustus kami sudah ditarik kembali ke Jawa. Ketika sore hari saat penurunan bendera, hujan deras mengguyur. Setelah ditunggu tidak ada tanda-tanda mereda. Sesuai SOP, jika hujan deras mengguyur, maka hanya pasukan 8 yaitu tim pembawa bendera yang bertugas menurunkan bendera. Nah, saat mengetahui hanya sebagian kecil saja yang menurunkan bendera, ternyata ada beberapa anggota paskibra yang menangis dan merajuk agar bisa ikut menurunkan bendera. Mereka tidak rela kalau latihan selama ini sia-sia. Padahal yang menangis tersebut termasuk anak yang paling bandel dalam latihan. Paska kegiatan Paskibra tersebut, hati ini terasa lega. Ternyata bibit-bibit nasionalisme yang ditanam sudah mulai bersemai di dada mereka. Jika hati sudah terpaut, takkan mungkin raga berkhianat.

Kami bisa merasakan pengalaman yang luar biasa, meski hanya setahun mengabdi di perbatasan. Dari awal mengabdi kami bertekad akan memberikan semua apa yang kami bisa bagi mereka. Kami berharap agar kuncup-kuncup itu menjadi bunga yang bermekaran, menghiasi pagar terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh Eko Rizqa (Guru SM3T Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline