Lihat ke Halaman Asli

Eko Oesman

freelancer

Balada di Terowongan Stasiun Depok Lama

Diperbarui: 26 Februari 2017   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari balik sebuah sudut terowongan stasiun Depok Lama sepasang mata mengintip. Di lantai terowongan terlelap dua gadis kecil dengan usia 5 dan 7 tahun. Di dekatnya sebuah kaleng susu bertuliskan anak yatim siap menampung recehan penumpang CL yang melintas dan iba melihat pemandangan tersebut.

Sang ibu yang sedang mengawasi kinerja sang anak ingin memastikan tidak ada bahaya mengancam. Apa pasal? Diujung terowongan seorang gelandangan senior juga duduk menunggu uluran sedekah yang tak kunjung turun. Terang saja, selain dekil dengan rambut gimbal awut2an, tampang senior yang sudah menghuni terowongan lebih lama itu menyeramkan.

Sebenarnya saya males negur si ibu. Pinginnya nampol aja. Tapi wait, tidak boleh ada kekerasan terhadap wanita. Saya percepat langkah nyamperin si ibu. Dideketin dia mencoba menghindar. Saya cekal tangannya. Dengan lembut tentunya. "Ndak usah takut bu, saya tidak operasi tangkap tangan kok (ini mah di bathin saja). Aslinya mah, bu saya pingin ngobrol sebentar. Setelah memberi sedekah senyuman sang ibu bersedia menjadi narsum saya. Jadilah malam itu selama 1 jam saya wawancara ekslusif sang ibu. Hingga jam 22.30 malam.

Cukup panjang untuk dikisahkan. Berawal dari ditinggalnya si ibu oleh sang suami. Alasan klasik. Si ayah selingkuh dengan wanita lain. Padahal sudah ada 2 anak yang harus ditanggung. Setelah berjualan diseputar stasiun Citayam si ibu terjebak cinlok. Hamil lagi anak ke 3. Sialnya si ayah calon bayi kabur lagi tak tau rimbanya. Jualan sambil hamil dan mengawasi 2 orang anak dijabanin si ibu. Bahkan ketika lahiran pun ditolong oleh pihak stasiun. Jadilah 3 anak tanpa ayah hidup prihatin di sebuah kontrakan di dekat stasiun.

Sehari-hari si ibu hanya mengandalkan upah cucian dari tetangga dekat. Untuk memenuhi 3 mulut yang tak pernah berhenti minta makan bukanlah perkara gampang. Ditengah cibiran tetangga yang sebenarnya sama-sama susah si ibu memutuskan alih profesi menjadi pengemis.

Si ibu tidak sedikitpun merasa bersalah. Mungkin dia berpikir beberapa pemimpin kita juga terkadang bermental pengemis profesional. Klop sudah, pemimpin dan rakyatnya sama saja.

Di lapangan ternyata pertarungan mendapatkan space ideal tidaklah mudah. Layaknya lapak pedagang, di bisnis pengumpulan uang receh ini lahan juga semakin sempit. Setelah beberapa kali terkena gusuran dari pengemis lainnya, si ibu memutuskan mengambil kapling terowongan stasiun Depok Lama. Setelah nego dengan gelandangan senior si ibu mendapat tempat 2x2 m, tidak lebih.

Dasar pengemis baru, si ibu belum punya strategi penglaris. Baju kedua anaknya cukup rapih. Walau di kaleng ada kata-kata sedekah anak yatim, pejalan kaki belum terlalu iba melihatnya. Akhirnya dramapun dimainkan. Ketika orang banyak lewat sang anak akting untuk pura-pura tidur (atau ngantuk beneran ya?). Wajah lugu yang sedang terlelap itu sungguh memancing iba.

Ketika saya tawarkan solusi si ibu sepertinya enggan menerima. Profesi ini sangat menjanjikan katanya. Biaya antara (jadi ingat Tabel Input Output-salah satu produk BPS) yang dikeluarkan sangat kecil. Paling yang krusial masalah keamanan. Makanya mata sang ibu tak pernah lepas dari asetnya. Diujung terowongan mata elang gelandangan senior sesekali melirik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline