Baca kisah sebelumnya
https://www.kompasiana.com/eko67418/61e5872f06310e7f515d23a2/januari-dari-titik-0-jogja-bagian-3
---------------------------------
Dompet menipis. Isinya lecek, gambar pahlawan berpedang. Dihitung hitung, takut kurang. Jika kurang, ya nanti hutang. Sedih, seraya Menatap diluar hujan. Menepi diwarung kopi langganan.
Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang hidup ini sengsara. Mereka, yang lalu lalang dijalanan itu. Bermobil, bermotor sport. Tampak enjoy saja. Sebabnya satu, dompetnya tebal. Tapi aku?
Terkenang saat banyak teman di meja makan. Kutraktir, tentu banyak yang datang. Memuji muji suksesku. Tapi saat sepi cuan, diri ini jadi gunjingan. Tak ada yang Sudi datang. Seribu alasan ditebar. Tak Sudi diundang.
Kopi pahit, sepahit kisah hidup ini. Entah kopi keberapa untuk hari ini. Sungguh pola hidup yang tak sehat. Apalagi dikepul asap rokok. Potret pelarian diri dari suntuknya kisah.
Warung ini warung pinggir jalan. Jadi lelaki nongkrong tanpa progres. Seperti kurang kerjaan. Bersama Abang ojeg yang nunggu orderan. Sungguh tak romantis jadi ajang ketemuan.
Tapi kelak akan jadi kenangan. Saat kita jadian. Jika pada suatu saat, kita tak akan lupakan. Tentang masa Kemiskinan harta, jadi kendala. Jadi rintangan.
Hujan kian deras. Berharap kau datang disini. Menemaniku. Kuyakin kau datang, jika kubilang ini kutraktir. Tak mahal. Tapi saat tak punya, aku jadi ragu mengundangmu datang. Sekalipun, rumahmu dibalik tembok warung ini.
Kita berdua sama sama miskin. Terlalu muskil jika kita nganeh nganehi. Jelas tak mampu. Kita sama punya kisah pahit. Dikehidupan yang lalu.
Sebenarnya, ragu ragu itu hanya merusak suasana. Tapi tanpa modal, kita bertemu dalam hambar. Untuk segelas kopi saja kadang masuk catatan hutang. Malu pada empunya warung. Entahlah.