Baca kisah sebelumnya
--------------------------
Jogja itu selalu dirindukan. Tak hanya para kasmaran. Tapi juga sesama kota. Ingin membawa nuansa Jogja. Kekotanya.
Januari dari titik 0 Jogja. Jadi rasa. Jadi awal. Jadi pemantik. Bahwa perbedaan, bukan halangan. Kata orang, bukan pijakan. Hidup itu pilihan, kita yang tentukan. Kita yang jalani, kita yang rasakan.
Cinta itu bukan untuk dipertanyakan. Bukan untuk dipertentangkan. Tapi dirasa berdua. Bukan diadu. Ini bukan lelucon. Bukan barang lawakan, jujur, apakah cinta ini lucu?
Aku tak mau berdebat soal cinta. Itu diranah rasa. Bukan diarena ego. Bukan menang atau kalah. Tapi saat bukti bicara dan telah diberikan. Apa tetap harus ditolak? Tak diakui?
Aku bukan nekad. Tapi ini tekad. Bahwa rasa itu, bukan untuk diingkari. Kenapa tulus suci didustakan. Untuk prinsip yang melawan kodrat. Bahwa jalan asmara ini, dalam kuasa Illahi.
Didepanku, saat kita berdua. Aku bisa rasakan cintamu. Tulusnya hatimu. Bahasa Matamu yang bicara. Dan itu jujur. Dari hatimu yang paling dalam.
Jika ini kau anggap mainan, lalu untuk apa aku memperjuangkanmu. Walau apa yang kau mau, mungkin tak sesuai harapanmu. Semua butuh waktu. Tapi Ini bukan janji, karena apapun nanti, ini lelah kita berdua. Hasil kita bersama.
Lalu apa yang jadi masalahnya. Kapan diri ini diakui. Sebagai kekasihmu. Sebagai masa depanmu. Seperti aku mengakui kau, kekasihku. Cintaku, masa depanku.