Lihat ke Halaman Asli

Eko Irawan

Menulis itu Hidup

Panggung untuk Hidup

Diperbarui: 15 Desember 2021   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panggung untuk Hidup (dokpri)

Kami adalah pelaku budaya. Pelestari ciri khas bangsa. Tak banyak yang kami minta. Beri kami panggung untuk hidup. Agar apapun kami, akan mandiri. Tak jadi beban negeri. Berkarya dan dapat rejeki.

Kami mencintai negeri ini. Ini tanah airku sendiri. Berbagai bidang seni budaya kami dalami. Menorehkan sejarah budaya. Milik bangsa, kebanggaan Indonesia.

Berbagai bidang seni budaya. Dari penulis hingga pelaku budaya. Betapa kaya ragam budaya bangsaku. Dari musik, sastra, tari hingga busana. Drama, bahasa dan goresan lukisan serta aneka kuliner khas bangsa. Ini asli milik sendiri. Bangga memilikinya.

Banyak yang silau budaya asing. Meniru budaya tetangga. Dianggap modern dan kekinian. Tapi itu milik orang lain. Apa yang dibanggakan? Gengsi? Kita punya sendiri. Yang dikagumi bangsa lain. 

Betapa banyak kisah pedih. Sulitnya para pegiat budaya. Hidup sengsara dibawah garis kemiskinan. Mengais rejeki dikubangan metropolitan. Bersaing dengan budaya baru, import yang lebih dibanggakan. Sementara punya sendiri, tidak dihargai. Dilupakan tanpa apresiasi.

Kami, tak butuh janji janji gombal. Kami tak butuh diajak dialog omong kosong. Dikira kami hanya jadi beban, yang meminta uang dan uang. Dikira mata duwitan. Bisa diperalat dan dimanfaatkan. Diperas keringat, tenaga dan pikiran. 

Kami sudah kenyang ditipu. Diiming iming. Dipekerjakan tapi tak dihargai. Dituntut partisipasi sebagai sukarelawan. Setelah itu dilupakan. Dianggap tak kompeten. Tidak akademis. Tidak ahli. Mentah. Dan kampungan.

Intrik yang membuat kami bosan. Dalam konspirasi tingkat tinggi. Para dewa dewa langit. Berbagai alasan ditebar. Tapi kami dibuang. Dilupakan. Dianggap beban. Dan disalahkan. 

Kami ingin budaya negeri maju. Jadi warisan budaya yang berkelas. Siapa yang akan mewarisi. Jika yang asli negeri ini, diklaim bangsa lain. Baru kebakaran jenggot. 

Kami paham aturan aturan yang ada. Soal anggaran. Dan entahlah itu. Tapi supportlah kami. Dengan memberi kami panggung untuk hidup. Panggung untuk bertahan mencari rejeki. Karena kami, bukan peminta minta. Kami bukan pengemis. Bukan pengamen. Yang dibayar recehan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline