Bermain hati itu, berbahaya. Penuh intrik. Saat iya, bilang tidak. Saat tidak, bilang cinta. Tafsir linglung pujangga asmara.
Tapi tanpa cinta, hidupmu tandus. Padang pasir tanpa air. Gersang. Panas. Hanya siluet fatamorgana. Bahagia palsu dalam sepi yang diratapi sendiri.
Margasmara. Jalan asmara anak manusia. Fitrah suci yang datang, tanpa bisa ditolak. Tersakiti jika pergi, tak bisa ditahan saat sirna. Jalan ini, harus dihadapi. Sebagai pilihan, tanpa ego.
Wanitaku, engkau laksana merpati. Manis nan jinak. Tapi menangkapmu butuh perjuangan. Memilikimu, butuh cerita tangis. Bukan tangis buaya, tapi ratapan putus asa.
Jika aku Ken Angrok. Maka jadilah aku sang Pengguncang. Tuah Sang Gandring akan bicara. Demi stri Nareswari sejati. Harus jadi milikku. Untuk bahagia bersamamu.
Biarlah dunia rasan rasan, aku bajingan. Aku penipu. Aku buaya. Aku garangan. Kau tak pernah tahu. Itu kata orang. Rasa ini dari hati. Bukan dari prasangka. Apalagi bacot para pecundang iri, yang menyebar fitnah.
Kau bisa miliki aku. Bawa aku pergi. Tinggalkan semua jerat para bangsat. Dunia ini, sudah bejat. Berisi para nyinyir munafik. Lambe turah sok suci, tapi berhati iblis.
Kau percaya siapa. Ini tentang aku dan dirimu. Bukan berdasar, apa kata bacot sok baik, tapi ahli ghibah. Kau pikir, kita dikasih makan mereka? Para ahli pintar omong, tapi hanya pandai menghujat.
Margasmara. Ini jalan takdir kita. Dipertemukan dalam beban kisah masa lalu yang pahit. Ingat, ini jangan samakan. Dengan yang sudah berlalu. Bagiku, ini bukan tentang dulu. Tapi ini lembar baru. Milik kita.