Kau, wanitaku. Kekasihku. Bertahun lamanya, aku bersamamu. Mereguk suka duka. Berbagi kisah. Berbagi Kasih. Berdua, tapi ini ironi.
Kau ada, tapi tak ada. Kau hadir, tapi tak menemaniku. Sungguh ini bukan negeri dongeng. Yang indah didunia khayal. Tapi pahit di dunia nyata.
Kau adalah wanita dari bait puisi. Yang ada menemaniku berimaji. Hadir sebagai mata air puisi. Mengaliri jiwa kesepian. Temani Sunyi sendiri dalam hati.
Aku tak Sudi jadi gila. Seperti lelaki yang tak waras. Menikahi wanita dari bait puisi. Yang dipeluk Apsara kata. Dipuji hampa. Ditertawakan derita. Diuji asmaraloka. Dan bahagia ini ternyata tak pernah ada.
Sendiri ini terbunuh sepi. Aku tak mau menjadi lelaki dari bait puisi. Aku nyawa yang nyata ada. Bukan raga yang sakit jiwa.
Fatamorgana. Tak mungkin hidup didalam panggung sandiwara. Cinta ini butuh tempat berlabuh. Butuh sentuhan kasih nyata. Tuhanku, kirimkan dia. Sebagai fitrah luhur manusia.
Malang, 29 November 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H