Cemburu memandangmu. Mesra melihatmu. Bercumbu syahdu. Malam menjadi lelaki. Yang meminang sang putri gerimis.
Rintik bulir indah berkilau. Tengah malam saat tersenyap. Diam saling tunggu. Saat tafsir asmaraloka diterjemahkan. Dalam kitab langit bumi.
Hanya sebuah kedai kopi. Dipinggir jalan yang mulai sepi. Malam saja berani meminang gerimis. Kenapa aku hanya memeluk enigma. Yang dipermainkan ragu ragu.
Kau tak bisa hadir, karena ku datang kemalaman. Tak nyaman perempuan keluyuran tengah sunyi. Walau aku ada, dibalik tembok kamarmu. Dekat, kita berbatas. Tapi kita Tak mampu bertemu.
Satukan rasa. Mantapkan jiwa. Seperti malam yang menikahi gerimis. Buang ragu, buang curiga. Syahdu itu milik berdua. Bukan menurut apa kata mereka. Kita yang jalani, kita yang nikmati.
Sendiri hanya siksa. Berdua lebih berdaya. Menyatu menyambut pagi. Yang setia mewarna lembar baru. Untuk kita yang sepakat. Jujur dalam harmoni. Menyusun nada nada hidup seirama. Aku dan dirimu.
Malang, 20 November 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H