Tuhan, aku terpanggil. Untuk curhat padamu. Tentang apa dan harus bagaimana. Karena aku sudah terpojok. Dalam rahasia yang tak kumengerti.
Hari ini, selepas hujan. Menuju petang, aku bersimpuh. Jujur, aku tak tahu kala tuntutan, demi tuntutan itu datang. Aku harus jawab. Untuk tanya kapan. Kapan dan kapan. Sementara itu RahasiaMu.
Mereka menuntut aku. Katanya aku janji. Tak peduli kesulitanku. Tak mau dengar keluh kesahku. Aku disangka. Aku dituduh. Dan aku dituntut. Untuk memastikan kapan. Padahal itu KuasaMu.
Ada apa Tuhan. Aku sudah jungkir balik. Memungut recehan hingga tengah malam. Kadang kosong. Saat itu sedikit. Aku diadili. Siang malam hanya segini? Saat itu banyak, ternyata tak disyukuri. Habis dan habis. Kurang, dan selalu kurang.
Hasil hari ini, untuk hari ini. Besok cari lagi. Iya, jika tubuh ini tambah kuat. Tapi ini, tampah renta. Tak peduli. Katanya, dari dulu hingga sekarang tak ada bukti. Tak ada hasil. Sabar sudah habis. Hidup sengsara terus. Susah. Yang baik, sudah tak diakui. Dihapus. Dianggap tak ada.
Aku bagai tontonan. Aku ditekan atas nama kewajiban dan kewajiban. Sejuta alasan agar dendammu terbalas. Puas, melihatku sengsara. Sementara hakku kau campakkan. Atas dasar fitnah rekaanmu sendiri. Tapi kenapa kau makan hasil cucuran tangisku?
Chat kepada Tuhan. Aku minta keadilan. Ini sudah timpang. Aku tulus. Aku setia. Aku tak melakukan apa yang dituduhkan. Engkau maha Tahu, Tuhan. Tapi kenapa aku yang harus disalahkan? Harus disengsarakan? Dan harus dipertanyakan? Kapan. Kapan dan kapan.
Aku tak bisa Jawab. Tapi aku dipaksa Jawab. Aku diam, disangka tak usaha. Aku jawab, itu jawaban menghibur. Tapi kau tak mengerti. Kau butuh kepastian. Kapan. Sementara, ini keputusan Tuhan.
Tuhan aku menyerah. Aku berpasrah. Tunjukan keadilanMu. Tunjukan kuasamu. Dalam Keajaiban. Karena aku kekasih Tak dianggap.
Malang, 16 November 2021