"Nda, aku kangen," itupun terkirim padamu. Berharap mendapat jawaban. Tak perlu panjang. Cukup kata, "iya." Dan betapa berbunganya hati ini. Gembira hingga ujung langit. Tapi itu......
Malam itu aku kembali duduk dibale bambu. Sendiri. Merenung. Sama, seperti malam malam kemarin. Menunggumu, mengajakku pergi. Sejauh mungkin. Dan lupakan segalanya.
Dingin sisa hujan barusan. Segelas kopi menemani. Mulai dingin. Sedingin semilir angin yang mulai menembus jaket lusuhku. Aku seorang pecinta yang hanya bisa menunggu dan menunggu.
Pesonamu sungguh luar biasa. Kau tetap bidadari tercantik. Ini bukan rasa tipu tipu. Semakin hari, aku semakin sayang padamu. Kukorbankan waktu waktuku untukmu. Hanya menunggu dan menunggu.
"Aku pingin nekad."
"Ayo Nda, kita pergi saja."
Tapi dan sejuta tapi. Sungguh menunggu itu siksa. Jika aku pergi sendiri, itu sama saja bunuh diri.
"Aku ingin sama kamu."
Untuk apa aku pergi, karena disana tak ada Dinda. Hanya Dinda dan Dinda nafasku. Tanpa Dinda, akupun mati. Abadi membawa cinta Dinda.
Jam terus berputar. Hingga tengah malam. Larut dalam kabut dan gerimis malam. Tak mungkin aku jadi lelaki gila. Dunia bahagia bersama Dinda hari itu telah habis. Bukan pergi untuk selamat tinggal, tapi pulang untuk kewajiban.