Kotaku kota pegunungan. Mustahil banjir. Karena didataran tinggi, 506 mdpl. Sungai besar membelah. Gorong gorong raksasa sudah disiapkan penjajah Belanda. Resapan sudah tersedia. Tapi itu dulu.
Pernah sejuk. Hutan tumbuh mengitarinya. Tlatah luas di timur gunung Kawi. Ada peradaban tertua di timur Jawa. Prasasti berangka tahun 760 buktinya. Negeri pekahyangan, dengan gugusan candi. Tapi itu dulu.
Saat Kotaraja mulai ramai. Sang Amurwabumi berburu dihutan sekitar. Malang masihlah belantara. Tumbuh belukar rimbun hutan resapan air. Pohon rindang penjaga alam. Tapi itu dulu.
Tapi itu hanya nostalgia. Kotaku dipeluk banjir. Mata air Brantas mengamuk. Meluluh lantakan keserakahan manusia. Air punya kecerdasan alami. Mengalir kedataran rendah. Tapi kenapa bisa banjir didataran tinggi.
Hutan mulai beralih fungsi. Resapan air minim. Jika mau menuding salah, gampang. Bukan solusi. Lingkungan ini, rumah kita sendiri. Semesta adil memberi wejangan, melalui banjir.
Kotaku dipeluk banjir. Bukan curah hujan yang salah. Tapi bumi sedang menangis karena digunduli. Tak ada resapan. Ibu bumi dicor dan diaspal. Tak bisa menabung air. Keserakahan manusia merubah tatanan. Semua menjawab dengan dalih dan dalil.
Itu mereka. Kita berdoa. Orang kecil pinggiran hanya mampu menengadah langit. Semoga banjir tak merendam rumah orang miskin. Beri kami kesempatan dipeluk kesejahteraan. Bukan dipeluk kesusahan.
Malang, 13 November 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H