Senja selalu berkisah. Tanpa resah. Tentang langkah. Yang selalu dipertanyakan. Kapan dan kapan.
Sungguh hidup bukan tontonan. Jika kau mau lezat, singsingkan lengan. Berjuanglah. Berangkat menjemput takdir. Kenapa curiga. Untuk apa jalan sendiri sendiri. Jika butuh, kenapa mempersulit?
Kenapa tak satukan langkah. Untuk apa protes protes bodohmu? Yang kubutuh itu semangat. Agar cepat usai. Lalui badai. Dan jadi bukti untukmu.
Tapi kau menghalangi. Seolah kau tak butuh. Memusuhi orang yang berjuang. Seolah diri ini badut lucu. Yang bodoh. Bahan tertawaanmu. Lalu apa tujuanmu.
Katamu, aku bukan pilihan terbaik. Yang maha baik itu, dia. Selingkuhan mu. Pujaanmu. Lelaki terjantan diseluruh bumi. Tapi kenapa kau menuntut aku? Kekasih yang kau campakan?
Tafsir bodoh akan menjawab. Kau butuh hasilku untuk dia. Memperalatku untuknya. Agar dia tinggal ongkang ongkang kaki. Tanpa lelah, memetik lezat. Itukah lelaki hebatmu? Dasar bangsat!
Lukisan senja. Tak akan bohong. Senja akan setia pada malam. Tapi cintamu sudah untuk dia. Takdir cinta telah kau nodai. Masih pantaskah kau berpura pura sadar, dihadapan Semesta Alam?
Malang, 30 Oktober 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H