Masih mendung. Sisa hujan belum kering. Menggenang. Melukis siluet senja. Dibayangmu. Jalan panjang. Saat pulang adalah siksa bagi jiwa.
Kuingin hidup seperti mereka. Karena aku sama dengan mereka. Masih manusia. Yang ingin disayang. Ingin dihargai. Dan jerih payahku dihargai. Tapi aku tidak.
Angin dingin menusuk tulang. Menembus jaket lusuhku. Tangan serasa bergetar. Serasa masuk dalam lorong pikiran Van mook. Yang memasang garis imajiner. Antara pejuang. Dan pendudukan.
Adakah Van mook Van mook yang hidup lagi. Memasang garis demarkasi. Di hidupku sendiri. Milikku yang dirampok Londo klaper. Kenapa aku kembali dijajah. Merdekaku dirampas. Dengan alasan cinta sang bajingan.
Sendiri. Lalui Idjen. Ya, jalanan kembar ini masih menyimpan banyak kenangan. Saat bahagia. Saat suram. Saat pertengkaran itu. Dan saat yang lain mulai mengisi hati. Semua terekam dalam jejak idjen. Sendiri.
Mungkin Thomas Karsten tak kenal diriku. Blue print di Leiden tak mencatat orang patah hati melewatinya. Bahkan bapak sepuh renta dengan onthelnya. Juga sepasang kasmaran yang bercanda ceria. Ada, seperti aku sekarang melaluinya. Dalam duniaku sendiri.
Pekik merdeka masih terngiang. Saat Susanto dan TRIP gigih mempertahankan bumi Pertiwi. Dan gugur di jalan salak. Deru tank yang kini nongkrong dimuseum. Bercerita banyak kisah dalam lorong waktu.
Sejenak kuberhenti. Menepi untuk membunuh dingin dengan kretekku. Nyala mulai temaram. Aku harus berhenti. Menata hidup yang berceceran. Enigma. Itulah hidupku sekarang. Yang nyata jadi mimpi. Dan mimpi jadi dunia merdekaku.
Aniem itu seperti mentertawakan ku. Dulu itu adalah gardu listrik. Sekarang jadi gudang tukang sapu. Yang merawat indahnya tamanmu. Agar indah terkenang bagi yang lalu lalang. Menghibur hati yang sepi. Agar bangkit.
Malulah aku pada tentara pelajar. Muda, gugur untuk bangsa. Kau abadi menatap pagi. Tersimbul dalam patung. Memberi semangat pada yang remuk redam. Kau gugur berkalam tanah. Tapi jiwamu menggugah darahku. Ayo berjuang.