Iya, hanya berteman dirimu. Mobil mainan. Kesini. Menikmati malam sunyi. Merenung arti diri. Bahwa hidup tak lebih dari drama imaji.
Aku memang bukan tontonan. Perjuanganku ini untuk apa. Untuk siapa. Kubawa kemana kisah ini. Ketika masa depan itu abu abu. Tak hitam. Tak juga putih.
Mengeluh, hanya menambah siksa. Menambah beban yang menyesakan dada. Aku butuh sekarang. Saat aku hina. Aku ingin hadirmu, kekasihku. Karena sekarang, aku butuh teman. Teman istimewa yang memberiku terang. Memberiku harapan. Untuk hidup bersamamu kelak.
Jangan biarkan aku gila. Sendiri. Tak ada yang temani. Tetes air mata sepi. Tak ada yang cari saatku pergi. Tak ada yang rindu saatku jauh. Dibiarkan. Tak dianggap sekalipun aku ada.
Sendiri. Aku jenuh bicara sendiri. Kutahu, engkau pasti datang. Itu bukan ilusi. Bukan imaji. Bukan khayali. Tapi takdir semesta. Seperti malam dan siang. Bertemu dalam petang.
Datanglah duhai penolongku. Bawa aku pergi. Sejauh mungkin. Sejauh bisa lupakan semua pahit ini. Aku berpasrah, karena aku telah tak berdaya. Terbunuh sepi ku sendiri.
Malang, 11 Oktober 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H