Akupun luruh. Jatuh menghempas bumi. Diantara butir butir kandas. Menjadi pupuk penyubur masa depan. Berputar dalam lingkar kisah. Jalan takdir semesta.
Kandas. Bukan pilihan. Tapi harus. Belajar memetik hikmah dari daun daun. Yang purna tugas. Jadi humus. Terurai menuju kebaikan.
Aku tersadar dalam hakiki. Ada masanya. Dalam jalan takdir ini. Bahwa aku harus lalui. Waktu demi waktu. Dalam terjemah tugas tugas. Yang harus diterima. Dalam keikhlasan.
Siapa mau kandas. Terjatuh dan terjatuh lagi. Aku sudah lelah. Ini bukan kisah sekarang. Dalam air mata sedih ini. Tapi siapa mau kandas. Lirih dalam luruh. Berkali kali.
Saat harus kandas. Dirasa sakit. Tapi kuharus tangguh. Bukan untuk menyerah. Tapi untuk tumbuh lagi.
Aku berpasrah pada Semesta Alam. Aku tak kuasa protes. Meneriaki kekecewaan ini. Sungguh tak adil. Saat yang jahat saja bisa. Kenapa aku terus kandas dan kandas lagi. Aku tak ingin jadi jahat, tapi kejahatan mereka membuatku terpuruk.
Daun ini. Luruh. Ada waktunya. Ada masanya. Untuk berotasi. Menuju kebaikan baru. Itu yang tak disadari kemarahan. Yang kecewa. Tanpa disadari, bahwa semua itu, ada waktunya.
Malang, 4 Oktober 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H