Pagi dijalanan itu. Jalan yang selalu kulalui. Untuk bekerja, menjemput rejeki. Mencari receh demi menghidupi keluargaku. Menaungi cinta yang mulai kusut. Ikhlas dalam tulus. Tak mengeluh walau lelah. Tak menyerah walau terus disalahkan. Melaju bersama asa. Setiap hari dalam doa.
"Bukti !" Itulah yang selalu kau tanyakan. "Sedari dulu hingga sekarang, tetap begini. Mana buktinya? Mana janjimu?" Itu selalu terngiang di telingaku. Seolah, dari awal cinta kita, hingga detik ini, aku adalah bangsat. Yang lupa tanggung jawab. Kenapa kau sekarang tak bisa sedikit saja menghargaiku. Perubahan ini tentu bukan kamu. Tanya ini tentu bukan inisiatifmu. Sekarang aku tak mengenali lagi siapa kamu. Dirimu yang dulu. Saat aku jatuh cinta padamu. Kau telah disetir sekarang. Kau dikendalikan. Karena kau ingin aku kena karma. Rencana settinganmu. Apakah itu tanda cintamu yang sekarang? Kemana dirimu yang bisa menerimaku apa adanya.
Dulu aku selalu penuh semangat. Setiap hari. Tapi sekarang tidak. Lelah jiwaku ini. Luntur sudah cinta yang dibangun berpuluh masa. Aku ibarat mesin yang hanya tugas wajib. Tanpa dipedulikan, punya bensin atau punya Ollie. Kau tak tanya lagi sudah makan atau belum. Sudah sholat atau mangkir. Saat lewat jam kerjaku, tak ada lagi telephonemu. Karena sekarang, sudah kau blokir. Seolah hanya dendam kebencian saat melihatku. Kau butuh aku, tapi tak inginkan diriku.
Jalanan ini pernah jadi saksi. Saat mesra mesranya dulu. Aku tak lupakan itu. Karena kau pernah jadi kekasihku. Ibu dari anak anakku. Tapi sekarang sudah kau hapus semua indah bersamaku. Sudah tak diakui pernah ada. Pukul rata, semua dianggap tak pernah ada. Kau telah lupa menyukuri. Dengan menilai, "tresnamu tai !" Sungguh sakit caramu memotivasi diriku. Caramu sangat kejam. Tanda cintamu sudah musnah.
Sekarang kau sudah tidak bisa melihat. Hatimu buta. Kau hanya melihat aku sebagai bajingan. Kau anggap aku dalang dari semua keruwetan ini. Menjatuhkan mental ku. Agar menyerah dan mengaku salah. Lalu bisa jadi permainan binalmu.
Cerita apalagi yang kau dustakan. Rahasia keluarga kita sudah tersebar kesemua kerabat dan teman temanmu. Mereka tersenyum sinis melihatku. Itulah caramu menyatakan pembenaran diri. Bahwa kau harus benar. Dan wajib benar. Agar kau bisa melenggang nikmat. Padahal Tuhan tahu bejatmu. Settingan laknat untuk menghabisi tulusnya cintaku.
Aku pasrah. Tapi tak menyerah. Ini pilihan hidupmu. Kau sudah menukar masa depan dengan pilihanmu sendiri. Dan lucunya, aku harus mencukupi maumu. Sekarang waraskah? Kita berdua adalah sepasang kekasih palsu. Rasa itu sudah kau bunuh sendiri. Kau tak percaya aku lagi. Aku mungkin salah. Tapi salahku kau jadikan dasar untuk balas dendam. Membalas berpuluh kali dan menyakiti perasaan. Kau paksa aku dengan alasan tanggung jawab, tapi dibalik itu kau punya rencana jahat. Aku tak mengarang, karena ini fakta.
Bagi orang lain, aku adalah lelaki bodoh yang diperalat. Sangat gampang ditipu. Tak punya sikap. Dikira bisa dipecundangi. Dan yang kau bela itu dia, arjunamu. Pilihan barumu. Yang merencanakan semua kejadian ini. Sang penipu ulung yang pandai main belakang. Itukah pujaanmu? Kenapa tak kau tuntut dia saja? Dialah bangsat sesungguhnya. Kau kira Tuhan akan diam saja? Hidup sekali sudah kau nodai sendiri. Aku itu menjaga kehormatanmu. Tapi betapa bodohnya dirimu melakukan itu. Nikmat sesaat yang kau kira aku bisa memaafkanmu. Tidak. Sekali lagi tidak. Itu cara binatang. Aku tak terima kehormatanmu sudah diobok obok binatang. Aturan apapun itu, itu salah. Tapi kau sudah lupa.
Selamat tinggal dunia tipu tipu. Selamat menikmati drama settinganmu sendiri. Selamat berbahagia dengannya. Itu pilihanmu. Itu bukti yang kau ciptakan, dan sebusuk apapun bangkai, pasti akan berbau. Itu tak bisa kau tutupi, dengan cara apapun. Itu tak bisa kau hapus dengan settingan. Itu akan tetap ada hingga disinggasana Tuhan, saat keadilan dibuka didepan matamu. Sungguh itu kebodohanmu sendiri. Menyesalmu bukan jawaban, karena cara tipu tipu penuh dendam kepalsuan. Dan sesalmu tiada guna. Kita sudah ada di persimpangan jalan. Saatnya berpisah. Tak cocok akhiri saja. Untuk apa drama penuh fitnah ini. Akhiri baik baik, agar kau bisa petik hikmah terbaik. Bukan karma.
Malang, 16 Juni 2021
Oleh Eko Irawan