Sahabat Ngopi apa kabar? Tetap semangat dan terus berkarya ya. Ditulisan Ngopi seri 10 ini, kita akan bahas belajar Entrepreneurship ala kampung Nila Slilir. situs Wikipedia mengartikan Entrepreneurship sbb :
Kewiraswastaan atau Kewirausahaan(bahasa Inggris: entrepreneurship) adalah proses mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasil akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidakpastian.
Belajar Entrepreneurship kok dikampung? Yang benar saja brow. Inilah uniknya Kampung Nila Slilir, Kelurahan Bakalan Krajan Kota Malang. Disilah lahir Start up Bisnis kampung yang tengah giat mempelopori Pemberdayaan ekonomi kreatif masyarakat berbasis kearifan lokal. Bagaimana keseruannya, selamat membaca, semoga menginspirasi.
Membangun Start up Bisnis Kampung
Kampung selalu saja identik dengan kampungan. Dianggap anak desa yang tidak mbois, tidak maju dan tidak punya wawasan bisnis. Sebuah paradigma yang menyesatkan, seolah hanya orang kota saja yang berhak maju dan punya kesempatan sukses.
Dampak pandemi covid 19 yang melanda dunia, membuat banyak pihak berpikir kreatif untuk menciptakan peluang usaha yang tetap bisa dikerjakan, sekalipun ada pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan karena mematuhi protokol kesehatan untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19. Inilah ide dasar, bangkit dari kampung sendiri dengan mengangkat potensi entrepreneur melalui konsep kampung.
Kota Malang adalah pelopor pemberdayaan Kampung Tematik. Khusus kampung Nila Slilir, konsep ini dibentuk dari kemauan murni dari masyarakat sendiri untuk pemberdayaan ekonomi kreatifnya. Sebuah kampung tematik harus punya pemantik yang bergerak aktif sebagai motor penggerak atau start up. Tanpa peran start up yang memiliki semangat visioner, sebuah kampung hanya akan menunggu keajaiban datang entah dari mana. Tak ada api, jika tak ada asap. Tak ada kemajuan kampung, jika tak ada yang berani memulai suatu langkah. Dan Peran itu harus dipelopori dengan heroik, jika ingin kampungnya punya sesuatu yang unik yang bisa menghasilkan bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Kebanyakan dikampung itu hanya menunggu bukti dari kesuksesan yang dipelopori kampung sebelah, baru mencontoh atau mengekor dibelakangnya. Para pegiatnya takut resiko dengan berpegang teguh pada prinsip banyak alasan. Belum melakukan apa apa, sudah memutuskan alasan A s/d Z, seolah olah endingnya sudah pasti diketahui.
Celakanya lagi, mereka menunggu bantuan instansi terkait, baru mau bergerak. Menunggu diperintah dulu, baru mau berinovasi. Seolah ide baru itu tabu. Ini yang menyebabkan masyarakat kita dicap kampungan. Di negara lain, sudah sibuk inovasi hingga ke bulan, kita masih sibuk bertengkar dengan saudaranya sendiri atas sesuatu yang sebenarnya mencederai makna guyub rukun dan ramah tamah, asli kebanggaan bangsa Indonesia sendiri.
Hasil konspirasi semasa penjajahan di Indonesia dahulu, membuat lupa jika kita sebenarnya sudah merdeka. Penjajah ingin kita dalam Devide ET empera, selalu terpecah belah diantara keunikan yang ada, sehingga penjajah bisa leluasa, menguasai dan mengangkut kekayaan Indonesia ke negerinya. Sisi negatif penjajahan adalah watak inlander, merasa rendah diri dan menggemari perpecahan sesama saudara sebangsa untuk alasan yang sebenarnya hanya suudhon, prasangka dan terkotak kotak dalam paham yang merugikan persatuan bangsa.
Penjajah memang tahu jika Indonesia punya power kearifan lokal yang membanggakan dan bisa membuat menjadi bangsa yang besar. Guyub rukun, gotong royong, swadaya dan persatuan, adalah konsep asli Indonesia yang oleh penjajah dikaburkan dan sekarang, sudah saatnya dibangkitkan kembali kearifan lokal sebagai solusi yang asli Indonesia. Kenapa sih bermusuhan sesama anak bangsa? Masak sudah lupa Bhineka Tunggal Ika.