Jangan salahkan gelap. Hidup bukan untuk menggerutu. Tapi tak mampu syukuri. Hanya membahas kesalahan lalu, yang bertumpuk. Tanpa solusi. Bagaimana bisa semangat, seperti nyala api.
Tak cocok, ya sudahlah. Drama ini tak perlu. Semakin lama hanya saling menyakiti. Semakin rugi. Waktu terbuang. Menunggu dendam terbalas. Cara mudah menolak berkah.
Hari hari salah paham. Pertengkaran. Sungguh buang energi. Buang hidup. Apa yang dipertahankan? Tuntutan tak masuk akal. Dari mana? Ini juang bersama, bukan janji.
Musnahkan aku saja. Agar kau tak lihat aku lagi. Karena tiap pagi kau bunuh, nyala api semangatku. Untuk apa? Hidup sudah pahit, kenapa kau lebih pahitkan lagi.
Aku diam salah. Aku bicara salah. Dipaksa jawab kapan. Tak disemangati. Sekarang dipertanyakan. Seperti inikah cinta?
Sudah jadi palagan perang. Tak suka pergi saja. Tak mau aku yang pergi. Sudah gila ini semua. Tak masuk akal. Karena cinta sudah padam. Semangat sudah mati. Yang menyala dendam.
Hancur sudah nyala api. Dibakar semua. Tak perlu teori. Porak poranda ada didepan mata. Musnah karena egois. Cari pembenaran. Untuk apa disesali? Ditangisi? Inilah berkah maha dendam. Bumerang pada diri sendiri.
Semoga masih ada sisa nyala api. Untuk penerang. Karena tak bisa disatukan lagi. Sakit ini sudah parah. Tanpa nyala itu, aku menyerah. Bukan kalah, tapi tuntutanmu sudah tak waras.
Malang, 5 Januari 2021
Oleh Eko Irawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H