Lihat ke Halaman Asli

Eko Irawan

Menulis itu Hidup

Cerita Kopi Pahit Malam Itu

Diperbarui: 1 Desember 2020   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri foto Eko Irawan

Kopi pahit malam itu. Sepahit kisah. Tentang suatu hari. Tiada cinta. Tiada belas kasih. Semua hanya tuntutan. Kewajiban. Keharusan. Tanggung jawab. Tak pedulikan lagi perasaan.

Ceriamu palsu. Ketika lembaran rupiah tidak sesuai harapanmu. Berubah jadi kemarahan. Protes. Tidak terima. Seolah aku pesakitan. Yang akan diadili. 

Wajahmu berubah Angkara. Disangka aku sutradara. Yang menginginkan kepahitan rasa. Berwujud durjana. 

Puaskah dirimu? Aku kenal pribadimu. Sebenarnya tak seperti ini kelakuanmu. Kaupun tahu seberapa sengsara hari hariku. Terhina. Terusir. Seperti pengemis. Namun kau berubah sejak sang arjunamu datang.

Ini tak menuduh. Ini bukan prasangka. Aku tahu dengan segenap panca Indra. Bahwa aku harus pahit. Sepahit kopi malam ini. Tanpamu. Dipesakitan. Dikesendirian. Dipenderitaan. Karena membahagiakan dia. Manusia terhormat paling mulia, pujaanmu.

Puzzle yang tak cocok. Coba dirangkai. Dipaksakan sesuai. Sia sialah. Jauhlah berkah. Karena hatimu bukan untukku lagi. Sekeras apapun aku berusaha, tak bakalan punya makna. Pasti yang salah aku. Karena kebenaran adalah punya dia, yang menabur kepahitan dalam bidukku ini.

Jika kau tagih janji padaku, itu salah. Karena yang kau bahagiakan itu dia. Dia menikmati enaknya. Tapi kenapa aku yang kau tuntut? Padahal aku yang sengsara. Kopiku pahit, sedang kopinya manis.

Kopi pahit malam ini. Teman duka. Orang yang kau sia siakan demi dia. Orang yang kau buang, untuk ditukar dengannya. Jika dia pilihanmu, pergi saja. Tak perlu drama. Tak perlu alasan. Kecuali kau ingin memuliakan dia.

Kau eman Eman dia. Agar ongkang ongkang tak perlu kerja. Tinggal teguk nikmat. Asalnya dari aku semua. Harus ada Secepatnya. Demi dia. 

Itukah lelaki mulia pujaanmu. Yang atur dan rusak semua ini. Selamat berbahagia, karena nikmat yang dustakan ini dari tetesan air mata. Kelak keadilan akan memberi rasa. Seribu kali lebih pahit dari kopiku malam ini. 

Aku akan pergi, karena bertahan itu sakit sekali. Jangan harap aku kembali, karena aku sudah tak kau butuhkan lagi. Ini keputusan. Pantang kujilat ludahku, karena ini terlalu pahit. Selamat jalan, semoga dirimu bahagia bersamanya 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline