Lihat ke Halaman Asli

Eko Irawan

Menulis itu Hidup

Puisi: Balada Gadai dan Bank Titil

Diperbarui: 13 November 2020   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kantor pegadaian malang tahun 1925 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2781895062050340&id=100006896208478

Ibu ibu itu bergerombol. Berunding serius dengan wajah tegang. Sekali kali melihat kejalan. Tak peduli anak anaknya rewel. Dengan sigap ditapuk bibirnya. Diam kesakitan. Merasa perih Mengucurkan darah.

Abang berjaket kulit. Datang siang dengan tagihan. Marah marah kalau tak dibayar. Belum lunas, iming iming uang. Ibu ibu itu utang untuk utang. Harian.

Ibu ibu itu pagi bawa buntelan. Mengungsi pergi ke pegadaian. Bawa baju, Jarit dan barang ringan. Nang gaden golek utangan. 

Tergopoh gopoh pulang untuk Abang cicilan awan. Bang titik pujaan. Tersenyum lega setelah bisa bayar. 

Hidup adalah utang. Utang sedikit kurang. Utang banyak sulit bayar. Tidak utang butuh. Gaden jadi pilihan. Bank titik jadi idaman. Gali lubang tutup lubang. Sisanya untuk beli beras dan pangan. 

Inilah balada kampung tukang utang. dimarahi saat Suami pulang tak bawa uang. Padahal sekali sebulan terima gaji bulanan. Tapi harus bayar harian. Usaha hanya bohongan.  Gadai sana sini untuk kepalsuan.

Balada utang tanpa solusi, kapan berakhir?

Malang, 13 November 2020

Oleh Eko irawan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline