Lihat ke Halaman Asli

Eko Irawan

Menulis itu Hidup

Cerpen | Jodoh Wasiat Emak (Bagian 2)

Diperbarui: 4 Februari 2020   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar dari apkpure.com

Benarkah dia jodohku? Kenapa Emakku menolaknya? Padahal dia sudah memberikan yang terbaik untuk ibu mertuanya itu. Dua gadis cantik cantik, putriku adalah cucu beliau.

"Urusen Dewe, Pikiren dewe," begitu bentak ibuku waktu itu mensikapi permintaanku  menikahi gadis pilihanku. Entah mengapa ibuku selalu menolak gadis yang menjadi pilihanku. Entah apa alasannya dan baru terjawab 22 tahun kemudian. Ternyata....

************

Kembali ke bangku reot di warung kopi Djoyo di pojok sekolahan itu. Kepulan kopi harum terasa segar. lalu lalang padatnya jalan raya tak menganggu nuansa petang itu. jam segitu jam pulang kerja. Jalanpun padat merayap.

Mungkin ini masih jauh dari cafe ideal. Namun disinilah banyak menyimpan kenangan indah tentang rahasia jodoh. Ibuku tak pernah melarang ketika aku harus nongkrong ditempat ini. Padahal jangankan Ngopi, sewaktu aku umur belasan tahun waktu awal kuliah dulu, kepingin ngaji dengan teman teman di mushola saja aku dilarang ibuku. Tapi kenapa sekarang malah disuruh. Padahal ini sekedar Ngopi.

"Bu Aku Nang Djoyo." Pamitku pada ibu petang itu. Beliau Mesem. Seperti Tahu untuk apa aku kesana.

Ini memang dilema besar dalam hidupku. Manuver yang dilakukan Istriku terhadap ibuku sangat mengecewakan Ibu. Sekarang Beliau Sakit dan aku tidak paham dengan apa yang akan terjadi Besok.

Bagiku Ibuku adalah pribadi Unik. Beliau melarang dan banyak melarang. Dan sejak aku remaja akulah sang Pemberontak.

"Mekso Mekso" itulah Kalimat yang selalu kuucapkan pada Ibuku. Namun apa Yang diucapkan Ibuku dikemudian hari ternyata Membuka tabir makna Pemberontakanku dan bisa Kamu baca di Link berikut.

***********

Malu aku sebenarnya duduk berdua di warung Djoyo ini. Apa Kata orang yang lewat melihatku berdua dengan Isti. Kadang Kami saling pandang dan hanya pegangan tangan. Seperti Rama dan shinta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline