Lihat ke Halaman Asli

Eko Irawan

Menulis itu Hidup

Cerpen | Jodoh Wasiat Emak

Diperbarui: 3 Februari 2020   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar dari apkpure.com

Warung Kopi Djoyo di samping sekolahan itu. Kepulan asap rokok memenuhi ruangan berukuran 4 kali 3 meteran. Sebagian besar anak nongkrong di warung itu mahasiswa. Mereka datang dari Indonesia timur. Kecuali aku yang bukan.

Kusruput kopi yang mulai hangat sambil menunggu kehadirannya. Di sini aku memang menunggunya. Dia adalah teman perempuanku.

"Dah Lama Mas Menungguku?" sapanya sambil tersenyum dan segera duduk disebelahku. ini adalah pertama kali aku ngajak dia ketemuan ditempat ini. Aku datang kesini karena disinilah tempat terdekat yang bisa kujangkau dengan jalan kaki. Hanya sepuluhan rumah dan satu sekolahan dari rumah ibuku. sudah sebulan ini ibuku sakit dan aku berusaha menjaga ibuku yang sakit. Seperti petang ini.

"Kamu aneh deh," cakap Isti memulai dialog denganku.

"Apa Yang Aneh?" tanyaku heran. 

"Kok Kamu Sangat Yakin sama Aku?" jawabnya. Aku memang Yakin dengan dengan Isti. Bahkan sudah sangat Yakin dengan Isti sejak pertama kali bertemu. Ini yang dianggap sangat aneh oleh Isti. Bagi Isti hubungan ini hanya sebatas teman. Toh diriku belum tahu banyak tentang siapa Isti.

"Kamu bisa pegang Omonganku Kok. Kalau ini tidak akan salah." Jawabku menyakinkan keraguannya. Kita memang perlu banyak meluangkan waktu untuk bersama dan berdiskusi tentang masa depan Kami. Dan ini sangat amazing, Karena kita baru jalan bareng itu belum ada 3 pekan.

Tak terasa diskusi di kedai kopi Djoyo sudah dua jam berlalu. Kami dilihatin saja para muda yang ikutan nongkrong di warung itu. Maklum kami jadi pasangan paling berumur. Dalam pikiran mereka apa ya? Cuek ajalah. Toh Kami harus punya tempat untuk bersama, ditempat yang paling sederhana ini.

**********

Ibuku minta diambilkan obat yang diberikan dokter. Ini sudah masuk jam untuk minum obat warna jingga itu. Kuambilkan segelas air putih dan ibu meminumnya. Ibuku tersenyum lalu duduk disandaran dipan. Aku duduk dikursi kayu disamping ranjang ibuku.

Tiba tiba Ibuku menangis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline