Lihat ke Halaman Asli

Madu dan Racun Media

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1395496620796448474

Hari gini, siapa yang gak pernah nonton TV, browsing internet, baca koran atau majalah, dengerin radio? Saya kira kita semua pernah, sering, atau bahkan mungkin selalu melakukannya. Sebab kebutuhan kita akan informasi telah menjadikan media massa sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian kita. Ambil saja contoh yang paling dekat, TV misalnya. Hampir di setiap rumah, kantor, toko, warung, dan tempat-tempat lainnya ada TV. Bahkan kini, menonton TV tidak hanya dilakukan secara konvensional, tapi bisa juga secara online melalui TV streaming yang memungkinkan kita menonton TV melalui PC, gadget atau ponsel pribadi. Saya sendiri, meski tidak begitu tertarik, selalu menyempatkan diri untuk menonton TV, buat update berita atau sekedar refreshing aja.

Menurut hemat saya, banyak sekali diantara tayangan-tayangan TV yang ada sangat tidak mendidik, bahkan cenderung membodohkan masyarakat. Lihat saja tayangan sinetron, gossip selebritis, jualan politik, atau realityshow, dan acara-acara lawak yang gak mutu itu. Meski demikian, tentu tidak tepat juga jika menggeneralisasikan semua tayangan TV tidak baik, sebab tidak sedikit juga acara-acara TV yang mencerdaskan dan mengispirasi. Sebagai contoh misalnya acara Mata Najwa dan Kick Andy di MetroTV atau acara ILC di TVOne, Khazanah di Trans7 atau program acara lainnya yang positif dan membangun. Sorry bukannya promosi, tapi saya kira acara-acara yang mendidik seperti ini patut diapresiasi.

Disamping itu semua, yang menjadikan kegelisahan dan keprihatinan kita semakin mendalam adalah berita-berita tentang kriminalitas yang hampir setiap hari menghiasi media kita, tidak hanya TV saya kira, tapi juga media cetak maupun media online bahkan sosial media. Kian hari kekejian semakin menggila. Mulai dari korupsi yang seolah tiada henti, perkosaan, pembunuhan, penganiayaan, pencabulan, dan lain sebagainya.

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan berita anak ‘ingusan’ yang menabrak mati sekian banyak orang, pacar yang memotong kelamin kekasihnya, ibu yang tega membunuh anak kandungnya, dengan alasan agar anaknya bahagia di surga katanya. Atau pasangan kekasih yang dengan polosnya menyiksa dan membunuh teman sekolahnya, majikan yang menyekap dan menganiaya pembantunya, pria yang menyiksa anak mantan pacarnya, dan yang teranyar adalah oknum polisi yang menembak mati atasannya. Mual rasanya melihat dan membaca berita-berita seperti itu. Kekejian yang sama sekali tidak memiliki tempat dalam kesadaraan kemanusiaan kita.

Pertanyaannya adalah, mengapa masyarakat kita kini menjadi sedemikian ‘buas’ dan ‘bringas’? Tentu banyak hal dan factor-faktor yang melatarbelakanginya. Namun saya kira salah satu unsur yang secara langsung maupun tidak langsung berperan terhadap hal ini adalah media. Kita harus jujur mengakui bahwa masih ada sebagian media yang pekerjaan utamanya adalah terus-menerus mengobral kisah sejenis itu. Dengan gambar sejelas-jelasnya, dengan kronologis yang sedetil-detilnya. Setiap hari, sepanjang waktu, selalu penuh dengan semua hal itu.

Tentu kita bertanya-tanya, apa tidak ada lagi berita-berita baik dan positif yang bisa disajikan? Kenapa media kita selalu miskin cerita tentang berbagai prestasi, karya, dan pencapaian-pencapaian hebat yang telah ditorehkan oleh anak bangsa? Maka dari itu, sebagian informasi,  karenanya, adalah sampah yang sebenarnya tidak layak kita konsumsi. Tidak melulu karena tak adanya cerita bermutu yang bisa disajikan, tapi lebih karena tetap saja ada ‘penikmat’ dari sensasi-sensasi kebiadaban dan tayangan-tayangan ‘sampah’ yang disajikan oleh media. Sebab pihak media—elektronik khususnya—biasanya membuat tayangan berdasarkan rating, dan rating itu sendiri didasarkan pada jumlah pemirsa. Jika tayangan-tayangan seperti itu masih menjamur di media kita, maka hal ini mengindikasikan bahwa minat masyarakat terhadapnya masih cukup tinggi.

Tidak diragukan lagi bahwa media massa memiliki pengaruh terhadap pengetahuan, persepsi, dan sikap prilaku masyarakat, baik itu pengaruh positif, maupun negative. Sederhananya, konsekuensi logis dari hal tersebut bahwa segala sesuatu yang digambarkan serta disajikan media dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan mengenai apa yang patut ditempuhnya dalam kehidupan sosial mereka. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan media massa di era reformasi ini, ada ekspektasi yang tinggi agar masyarakat meniru hal-hal baik dan positif yang ditayangkan oleh media. Namun sebaliknya, kita juga tidak bisa menutup mata atas dampak negative yang dibawa oleh suatu media.

Berita criminal yang disajikan oleh media misalnya, memiliki dampak positif dan dampak negative. Efek positiffnya adalah bila berita criminal tersebut dijadikan sebagai pembelajaran bagi masyarakat sehingga mereka menjadi lebih hati-hati dan waspada terhadap kemungkinan terjadinya tindakan criminal tersebut. Sedangkan efek negative yang ditimbulkan oleh media massa, terutama dalam hal delinkuensi (pelanggaran terhadap norma) dan tindak kejahatan, pada dasarnya bersumber dari besarnya potensi pada tiap anggota masyarakat untuk memperoleh inspirasi dan meniru apa yang disaksikan ataupun didapatnya dari media massa. Hal ini diperkuat oleh tesis yang dikemukakan oleh Drs. Abdulsyani dalam buku Sosilogi Kriminalitas bahwa konten-konten bacaan yang buruk, porno, dan criminal merupakan factor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kriminalitas.

Untuk mengantisipasi dampak negative dan penyalahgunaan media massa, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan sejumlah regulasi, seperti UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Pernyiaran, dan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Namun demikian, tetap saja dampak negative dari media belum sepenuhnya dapat dikendalikan. Bahkan Kemenkominfo dan KPI sebagai garda terdepan dalam mengontrol media massa di tanah air juga seolah tak mampu berbuat banyak. Maka dengan demikian, kini semuanya kembali kepada kita semua sebagai konsumen media, untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan media.

Menurut teori Uses and Gratification yang dikenalkan oleh Herbert Bulmer dan Elihu Katz pada tahun 1974, dinyatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif dalam memilih dan  menggunakan media, dimana mereka berusaha mencari sumber media yang paling baik dalam upaya memenuhi kebutuhannya akan informasi. Teori uses and gratification ini mengansumsikan bahwa pengguna media mempunyai pilihan alternative dalam memenuhi kebutuhannya akan informasi. Dengan kata lain, kita sebagai konsumen media mempunyai kebebasan penuh untuk memutuskan bagaimana media itu akan berdampak pada diri kita.

Maka sudah saatnya bagi kita semua untuk lebih bijak, lebih cerdas, lebih selektif, dan lebih kritis dalam menerima setiap informasi yang disajikan oleh media. Jangan sampai pengetahuan kita menjadi terbatas, justru di tengah melimpahnya informasi. Sebab kini begitu banyak makna yang dibajak oleh persepsi dan opini. So, jadilah pribadi “yang mendengarkan perkataan-perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”(QS Az-Zumar: 18)

Wallahu a’lam bisshawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline