Ayahku, seorang penggemar tinju sejati. Tetapi, sepak bola selalu punya tempat di hatinya. Dia adalah pecinta sepak bola, meski tidak memahami sepak bola sebaik tinju. Tetapi, dia akan menjadi pengamat 'sejati' jika yang bermain Timnas Indonesia atau PSMS Medan. Itu dulu, sebelum beliau meninggal.
Ayah bermimpi kelak saya akan menjadi petinju. Meski mimpi itu tidak menjadi kenyataan. Tapi, semasa kecil, jika saya bermain bola. Tarkam. Dia selalu teriak Ortega! Ortega! Ortega! Pemain kesukaannya dari Argentina. Ayahku kurang senang jika saya bermain bola. Katanya terlalu kecil. Kasihan ketika ditekel atau ditabrak.
Dia seperti menapikkan betapa Armando Maradona dan Pele tidak sebongsor pemain-pemain eropa. Bahkan pemain kesukaannya, Ariel Ortega pun tidak tinggi jika dibanding pemain eropa. Ayahku ada-ada saja.
Mungkin saya saja yang naif. Ayah mungkin sudah berpikir jauh. Sepak bola kita memang amburadul. Manajemennya berantakan. Seperti pembinaannya yang amburadul. Pun demikian dengan penyelenggaraan liga dan kontrak pemain. Kalah didik, fisik dan mekanik!
Dia pernah bilang, jika saja kita memiliki liga yang bagus. Maka kita tidak perlu membuat pelatnas jangka panjang. Kirim-kirim timnas kelompok umur keluar negeri. Buang-buang uang katanya. Hasilnya juga kurang maksimal, mungkin dia kepikiran PSSI Primavera.
Mungkin soal Timnas Indonesia, dia semasa hidupnya berekspektasi terlalu tinggi. Soalnya dia pernah cerita Jepang ada dibawah (Indonesia) tahun 70an, Indonesia adalah macan Asia. Lalu, dia kemudian melihat Jepang melampaui Indonesia. Tidak hanya jadi jagoan asia tapi dunia!
Indonesia sendiri tidak terlalu banyak berubah. Kalau tidak mau disebut amburadul. Yah, jalan di tempat saja. Liga yang baru saja digelar, kualitas? Tidak perlu dibicarakanlah, digelar aja sudah syukur. Di lapangan, ada wasit yang dipukuli, tawuran antar pemain. Pemain klub dibatasi main timnas, mestinya kan muara dari liga adalah Timnas Indonesia.
Benar saja, melawan Thailand kemarin di final leg-1, Indonesia seperti samsak tinju. Dipukuli tapi tidak membalas. 4:0, Thailand silakan merayakan kalau mau. Ada saja yang menyalahkan taktik Shin Tae-yong. Menurutku bukan taktiknya yang salah tapi pemain terbatas melaksanakannya. Soal leg-2, hanya keajaiban yang bisa mengantar Indonesia juara. Mungkin tapi sulit terjadi.
Timnas Indonesia sendiri lolos ke final adalah prestasi luar biasa. Mungkin hanya Elkan dan Witan lalu disusul Egy yang datang kemudian merasakan kompetisi reguler. Sisanya, dipilih hanya berdasarkan kejelian Shin Tae-yong. Bagaimana beratnya dia memilih skuad tanpa kompetisi reguler. Itu sudah membuktikan kelasnya!