Pernah tahu sebuah tim yang mencetak lebih dari 100 gol dalam satu musim, lalu malah kehilangan ide untuk mencetak gol di musim berikutnya? Well, Chelsea mengalaminya musim ini.Apa yang terjadi dengan Chelsea? Klub dari London Barat ini seperti telah melakukan semua hal di musim lalu: mencetak lebih dari 100 gol, berkali-kali memenangkan pertandingan dengan mencetak lebih dari empat gol, pertahanan yang solid, dan tentu kontroversi yang dibuat oleh pemain-pemainnya. The Blues terlihat begitu superior ketika memenangkan liga dengan kemenangan 8-0 atas Wigan di pertandingan terakhir Premier League 2009/2010. Kemenangan itulah seakan yang memberikan gambaran perjalanan Chelsea di musim itu. Luar biasa. Mereka memiliki skuad yang terkesan tua tetapi sebenarnya matang. Hampir semua pemain telah masuk usia emas mereka, dan kebanyakan telah bermain bersama-sama selama bertahun-tahun sehingga chemistry di antara pemain telah tercipta dengan kuat. Mereka bertahan dengan sangat baik dan menyerang dengan luar biasa, seakan selalu mampu menemukan celah di pertahanan lawan. Kunci serangan tentu kreatifitas yang tinggi dari Florent Malouda di sayap kiri penyerangan Chelsea, serta tajamnya Didier Drogba di depan gawang lawan.
Sayangnya, kreatifitas inilah yang kemudian tiba-tiba hilang dari Chelsea musim ini. Chelsea membuka musim dengan sangat meyakinkan. Seakan melanjutkan tren "bantai lawan sampai habis" di musim lalu, mereka membuka musim dengan mencetak 21 gol dan hanya kebobolan satu gol di lima pertandingan pertama mereka. Dua pertandingan awal bahkan mereka membukukan dua kemenangan identik 6-0 atas West Brom dan Wigan. Namun setelah kalah dari Manchester City di pekan ke enam lewat gol tunggal Carlos Tevez, Chelsea tiba-tiba limbung. Badai cedera yang menghantam mereka saat itu bisa dijadikan alasan. Chelsea harus kehilangan Frank Lampard, Michael Essien, John Terry, sampai Alex sekaligus dalam satu waktu. Akibatnya tim itu seperti kehilangan arah dan berada dalam periode yang kelam. Kekalahan 3-1 atas Sunderland di kandang sendiri menjadi sebuah ironi, pasalnya klub yang mengalahkan mereka itu adalah klub yang sama yang Chelsea kalahkan musim lalu dengan skor telak 7-2. Namun setelah tahun baru terlewati dan satu demi satu pemain kunci telah kembali, permainan Chelsea masih seperti kehilangan ruhnya. Frank Lampard memang telah kembali bermain pasca cedera, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa permainannya telah mulai menurun seiring dengan semakin bertambahnya usia. Malouda juga terus bermain sebagai starter, tetapi eksplosifitasnya di sayap kiri seakan-akan menguap. Kita seperti kehilangan sosok Malouda musim lalu yang bisa menusuk dengan cepat dan selalu menemukan celah di pertahanan lawan. Salomon Kalou memang terkadang bermain dengan sangat bagus dan mencetak gol penting, tetapi ia bermasalah dengan konsistensi dan lebih sering bermain di bawah standar. Drogba dan Nicholas Anelka juga seperti kehilangan ketajamannya di depan gawang lawan. Kondisi yang memprihatinkan inilah yang memaksa manajemen Chelsea membeli Fernando Torres dan David Luiz di bursa transfer musim dingin dengan nilai yang sensasional. Hasilnya? David Luiz sukses menjadi bintang baru Chelsea, dan Torres menjadi pecundangnya.
Luiz sukses menunjukkan kemampuan terbaiknya di lini pertahanan Chelsea. Ia dikenal sebagai bek yang kuat, tanpa kompromi, terkadang memang menjurus kasar, dan piawai mencetak gol. Apa lagi yang kurang? Luiz bahkan telah mencetak dua gol dalam enam pertandingan pertamanya. Satu gol lewat tembakan first-time saat melawan Manchester United, dan satu lagi lewat sundulan kepala saat melawan Manchester City. Dan statistik Chelsea saat ia bermain pun terbilang bagus. Dalam enam kali penampilan Luiz bersama Chelsea, ia merasakan tiga kemenangan, dua seri, dan satu kekalahan. Satu kali kalah pun ketika ia hanya masuk sebagai pemain pengganti di babak kedua di pertandingan debutnya melawan Liverpool. Artinya, ketika Luiz bermain, pertahanan Chelsea terbilang solid. Ia sukses menggantikan peran Ricardo Carvalho yang hengkang awal musim ini ke Real Madrid sebagai tandem kapten tim John Terry. Ngomong-ngomong, rambut keduanya (Luiz dan Carvalho) sama-sama keriting... Well, hal sebaliknya terjadi pada Torres. Sampai pertandingan melawan Manchester United di perempat-final Liga Champions kemarin, El Nino masih belum mampu mencetak satu gol pun ke gawang lawan. Padahal harga yang harus ditebus oleh Chelsea benar-benar fantastis: 50 juta poundsterling. Tak ayal, ia menjadi bulan-bulanan pers Inggris yang mempertanyakan kualitas Torres dan harga mahalnya. Meskipun ia beberapa kali menciptakan peluang saat diberi kesempatan bermain, Torres malah lebih sering terlihat kebingungan mencari posisi yang tepat, sehingga ia justru lebih sering "tak terlihat" di lapangan. Misalnya saja, di pertandingan melawan Manchester United kemarin, Torres tercatat hanya menghasilkan tiga tembakan, dua tepat sasaran dan satu melenceng. Untuk penyerang sekaliber Fernando Torres? Hal ini sangat aneh.
Alex Ferguson membela Torres dan berpendapat bahwa Torres tentu masih beradaptasi dengan sistem permainan Chelsea. Pendapat yang masuk akal, dan para pembela Torres pun akan mengeluarkan pendapat yang senada dengan Fergie. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ini adalah kesalahan para gelandang Chelsea yang seperti tanpa kreatifitas sehingga gagal mendistribusikan bola dengan baik kepada Torres yang memang bertipe sebagai penyelesai akhir.
Saya pribadi cenderung memilih pendapat kedua, selain tetap menyalahkan ketidakmampuan Torres membuka ruang bagi dirinya sendiri di depan gawang lawan. Kita kembali ke masalah kurangnya kreatifitas. Ya, Chelsea memang benar-benar kehilangan kreatifitasnya dalam membangun serangan. Pemain-pemain Chelsea benar-benar terlihat seperti orang kebingungan dan putus asa ketika melawan tim dengan pertahanan yang rapat dan solid. Frank Lampard seperti kehilangan sentuhannya dalam mendistribusikan bola ke lini depan, dan Malouda kehilangan sentuhannya dalam menembus pertahanan lawan. Ketika Lampard gagal menemukan celah untuk mengirimkan umpan kepada duo striker yang menunggu di dalam kotak penalti, ia akan memberikan umpan melebar ke kiri atau kanan, meskipun jika diamati, serangan Chelsea lebih bertumpu pada sayap kiri di mana ada Malouda dan Ashley Cole di sana. Setelah itu keduanya akan mencoba menembus pertahanan lawan lewat dribble, yang sayangnya sering digagalkan oleh pemain lawan. Dan ketika akhirnya kehilangan ide untuk menembus barikade musuh, pemain-pemain Chelsea akan mengirimkan umpan lambung kepada dua striker di mulut gawang, yang lagi-lagi juga lebih sering digagalkan oleh bek lawan. Chelsea tak lagi memiliki tipe pemain kreatif yang bertugas mencari celah untuk mendistribusikan bola dengan baik ke lini depan, dan inilah yang menurut saya menjadi pangkal permasalahan. Mari kita lihat jajaran gelandang yang dimiliki Chelsea, selain Lampard, semuanya bertipe sebagai pemecah serangan lawan. Ramires, John Obi Mikel, dan Michael Essien semuanya unggul dari segi adu fisik dengan lawan, namun lemah dari segi kreatifitas. Chelsea sebenarnya memiliki Yossi Benayoun yang bisa menjadi pendamping Lampard, seperti yang dilakukan oleh Michael Ballack musim-musim lalu, namun cedera panjangnya membuat Benayoun beristirahat lama dan baru akhir-akhir ini dikabarkan siap tampil lagi. Tetapi lama tak bermain di level tinggi membuat Benayoun sulit diharapkan untuk menaikkan performa Chelsea secara instant. Pilihan lain? Saya akan menyebut nama Josh McEachran. Pemain ini masih sangat muda, berhasil memenangkan Piala Eropa U-17 bersama timnas Inggris U-17 pada tahun 2010 lalu. Ia telah diberikan beberapa kesempatan musim ini oleh Carlo Ancelotti, dan selalu memberikan penampilan yang memuaskan. Diposisikan sebagai holding midfielder, Ancelotti sepertinya ingin membentuk "Andrea Pirlo baru" dengan memberinya tugas sebagai deep-lying playmaker meskipun banyak pihak berpendapat McEachran lebih tepat diposisikan sebagai calon pengganti Lampard di masa depan karena kemiripan cara bermainnya, jika melihat aksinya di tim junior Chelsea ataupun di tim cadangan. Ia bahkan unggul satu hal dibanding Lampard: teknik yang dimilikinya di atas Lampard, dan bahkan seperti mengingatkan saya pada Joe Cole muda.
Sayangnya, Carlo Ancelotti bukanlah tipe manajer yang berani bereksperimen. Lihat saja, meskipun permainan Chelsea terus menerus kurang mengesankan, ia tetap mempertahankan formasi utama dan kurang berani menurunkan pemain muda untuk saat-saat yang penting. Padahal terlihat sekali bahwa Chelsea membutuhkan seseorang yang baru, yang mampu memberikan kembali kreatifitas dan menginspirasi tim ini. Saya yakin McEachran dapat melakukan hal tersebut, yah paling tidak Ancelotti harus mencobanya. Kondisi yang ada sekarang sudah benar-benar akut, dan jika tak dibenahi sesegera mungkin, bisa jadi Chelsea bahkan tak lolos ke Liga Champions musim depan. Posisi Chelsea akhir musim nanti benar-benar ditentukan oleh keberanian Ancelotti. Apakah masih akan mempertahankan kondisi yang saat ini dan tenggelam, atau melakukan sesuatu dan kembali menunjukkan Chelsea yang sebenarnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H