Lihat ke Halaman Asli

Ekky Dyza Suryanegara

Pegawai Negeri

Asas Retroaktif Dalam Argumentasi Hukum Pidana di Indonesia

Diperbarui: 16 September 2023   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berlaku surut atau sering disebut dengan asas retroaktif adalah pemberlakuan dalam peraturan perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya berlaku pada saat pengundangan, dalam artian setiap norma yang terkandung dalam peraturan baik itu memerintahkan maupun melarang atau jenis lainnya sudah berlaku mulai dari saat peraturan tersebut diundangkan. Karena itu sebuah peraturan tidak dapat dikenakan pada kejadian sebelum peraturan disahkan sesuai dengan asas legalitas. Lantas apakah berlaku surut dalam pemberlakukan peraturan masih bisa diterapkan. Asas legalitas adalah salah satu asas umum hukum pidana, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa : "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada". Dengan pengertian tersebut bahwa asas legalitas diterapkan pada perbuatan pidana atau hukum pidana, jika dirumuskan dalam norma maka pemberlakuan surut tersebut boleh dimuat namun harus dikecualikan untuk ketentuan pidana jika peraturan tersebut memuat ketentuan pidana. Secara umum dari ulasan di atas pemberlakuan surut bisa diterapkan dalam peraturan kecuali ketentuan pidana dan pembebanan konkret kepada masyarakat, namun peraturan yang berlaku surut harus memuat status dari tindakan hukum yang terjadi atau hubungan yang ada dalam tenggang waktu antara tanggal berlaku surut dan tanggal berlakunya dari peraturan tersebut.

Penormaan hubungan hukum dalam tenggang waktu tersebut dimaksudkan untuk memberikan "kepastian hukum" dalam tenggang waktu tersebut agar adanya kejelasan tindakan hukum, hubungan hukum dan akibat hukum dengan adanya berlaku surut dalam peraturan dengan penempatan norma tersebut dalam pasal atau bab "ketentuan peralihan". Dalam suatu peraturan hukum dapat diterapkan dua pemberlakuan sekaligus, diterapkan berlaku surut dan pemberlakuan pada saat tanggal pengundangan. Dengan kata lain bahwa peraturan tersebut berlaku surut pada tanggal sebelum pengundangan kecuali norma yang ada ketentuan pidana atau "pembebanan konkret" yang berlaku pada tanggal pengundangan. Walaupun pemberlakuan surut dapat diterapkan dalam peraturan bukan berarti setiap peraturan yang bukan kategori norma pidana dan pembebanan masyarakat dengan mudah diberlakusurutkan sebab untuk diberlakusurutkan suatu peraturan harus ada alasan yang kuat kenapa harus diberlakukan sebelum tanggal pengundangannya, tanpa alasan yang kuat tentu berlaku surut tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadi alat kesewenang-wenangan dari pihak tertentu. Sebenarnya yang menjadi asas adalah non-retroaktif, yaitu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Asas ini sesuai dengan pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie. Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan lagi dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa : "Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan hukum pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu"

Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya : "Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia" menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak. Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun" Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Pasal ini berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam suatu putusan terakhir.

Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, sifat retroaktif tersebut juga dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan yaitu bahwa : "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc" Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa : "Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan." Jadi, secara umum suatu undang-undang adalah bersifat non-retroaktif, yaitu tidak boleh berlaku secara surut. Akan tetapi, untuk hal-hal tertentu dimungkinkan untuk diberlakukan surut, contohnya adalah ketentuan-ketentuan hukum di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Dalam sistem peradilan pidana yang bisa menerapkan asas rektroaktif adalah para penegak hukum yang bekerja atas nama negara, dengan demikian, kecil kemungkinan bagi masyarakat untuk dalam sistem seperti ini. Sebenarnya sah saja jika argumentasi hukum yang dikemukakan oleh ahli hukum diberlakukan surut. Kembali lagi pada keterangan diatas bahwa jika argumentasi tersebut diberlakukan asas rektroaktif oleh aparat penegak hukum bisa saja asas rektroaktif ini berlaku dalam argumentasi hukum. nantinya semua yang menentukan adalah para penegak hukum. Argumentasi hukum itu sendiri adalah proses penalaran mengenai hukum yang dilakukan oleh ahli hukum, calon ahli hukum atau penegak hukum. pada umumnya mereka dibagi menjadi dua yaitu kelompok kademisi dan kelompok praktisis. Kelompok akademisi meliputi mahasiswa, dosen dan peneliti hukum. kelompok praktisi diantaranya hakim, jaksa, polisi, notaris dan advocad.

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ("KUHP") merumuskan, "Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya." Putusan MK yang "membatalkan" (menyatakan suatu ketentuan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat) termasuk sebagai perubahan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Dengan demikian jika ada suatu seseorang didakwa melakukan suatu tindak pidana, namun kemudian ketentuan pidana tersebut diuji di MK dan oleh MK dinyatakan ketentuan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, maka orang tersebut tidak lagi dapat dituntut dan dihukum berdasarkan ketentuan tersebut. Putusan MK tersebut nantinya tidak hanya berlaku bagi si Pemohon. Namun juga berlaku secara umum, yaitu bagi semua orang. Sebab, putusan MK tersebut memang tidak dimaksudkan hanya akan mengikat (berlaku) bagi pemohon pengujian UU namun akan berlaku secara umum. Pasal 1 KUHP memang tidak menjelaskan secara lebih terinci bagaimana jika suatu perkara telah diproses di pengadilan namun perkara tersebut belum diputus dan tiba-tiba terjadi perubahan undang-undang yang kemudian membuat ketentuan pidana tersebut hapus atau menjadi lebih menguntungkan Terdakwa. Tapi Pasal 1 KUHP ini merupakan prinsip dalam hukum pidana. Artinya pengadilan harus memperhatikan prinsip tersebut. Jika pada saat pemeriksaan di tingkat pertama atau banding atau kasasi tiba-tiba ketentuan pidana tersebut dicabut atau dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat maka pengadilan haruslah melepaskan terdakwa.

Putusan yang dibuat oleh seorang ahli hukum harus bisa dikatakan suatu kebenaran dalam segi norma hukum, teori hukum dan filsafat hukum. argumentasi hukum adalah sebuah putusan, sehingga putusan yang berikan oleh ahli hukum harus benar bukan baik atau buruk, karena putusan yang baik atau buruk adalah ranah moralitas. 

Suatu putusan dapat dianggap benar jika memang sudah sesuai dengan norma hukum dan kaedah-kaedah hukum, selain proses yang pembuatan putusan itu melalui logika dan penggunaan bahasa yang sesuai. Suatu putuan yang benar dapat diraih dengan tidak mengesampingkan kerangka dasar asas pemikiran. Dari penjelasan diatas bisa ditarik benang merah bahwa argumentasi hukum bisa berlaku surut karena pernyataan yang dikeluarkan juga memungkinkan untuk mempunyai kekuatan hukum. Sehingga ada sebagian argumentasi hukum yang dapat diberlakukan surut, dan ada juga yang tidak bisa sama sekali untuk beralaku surut, karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline