di kamar gelap
kulihat ia mendengkur
telapak tangan menyangga pipi kanan
ia baru saja bangun dari mimpi mati muda
kelopak mata redup mengembang
meski waktu telah mengisap tenaganya
ia bangkit menyangga punggung
meraba pipinya yang kecut seperti ditarik tali temali mendahului maut
kupu-kupu tua yang sesat terbang leluasa dari tirai hinggap ke dinding
surya diam-diam mengintip dari celah-celah jendela
sepasang burung saling menggoda di pohon nangka membangunkan si wanita melankoli tak bernafsu
mata lesu itu mengitari penjuru kamar, berhenti di koran tertempel pada dinding: 1990
janggal! angka diam, dia diam, tapi waktu beranjak
membawanya pergi melintasi dasawarsa ketiga
mengundang dengung keheningan yang memualkan
menebar aroma lawas menjemukan
setiap hari, ia rindu kaki-kaki kecil
setiap hari, ia rindu tangan-tangan jahil
setiap hari ... ia merindu masa muda dan kini, tak mungkin sama lagi
sunyi dapur telah berubah
menjadi kuburan ingatan
lama sekali ia tak perlu bangun pagi-pagi
bayi-bayinya andal merawat bayi-bayi kepunyaan mereka sendiri, dan bayi-bayi mereka juga sudah menetaskan bayi-bayi baru
mendirikan pondasi-pondasi baru dan merubuhkan tiang-tiang lusuh
segala yang lusuh kelak akan diganti, dan
dia harus bermalam sendiri
melewatkan hari demi hari menatap langit-langit kamar yang pelan-pelan dihuni sawang penderitaan
malam itu nenek melirik wajahku
dia mungkin tahu, aku menelusuri lorong waktu
demi mengenang betapa sunyi
seorang ibu yang meninggal di kamar gelap sendirian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H