Lihat ke Halaman Asli

Eka Nawa Dwi Sapta

Penulis lepas

Mengapa Kita Tidak Perlu Tahu yang Ramai Diperbincangkan?

Diperbarui: 2 November 2021   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi FOMO oleh Pixabay (Pixabay.com/thedigitalartist)

Mengetahui segala hal, barangkali adalah harapan semua orang. Ketika teman kita membicarakan tentang film favoritnya, kita diam-diam ingin tahu juga seseru apa film yang ia tonton. Saat teman Facebook sedang heboh membahas novel yang serinya berjilid-jilid, kita pun penasaran, semenarik apa cerita yang mereka baca. Belum lagi kasus artis A, B, C, dan D menyebar di setiap linimasa dalam bentuk artikel dengan judul umpan klik (clickbait), lagi-lagi kita terpancing untuk sekadar melihat-lihat.

Tahukah kamu? Kita melihat-lihat sesuatu karena didorong rasa ingin tahu. Kita tak sadar mencoba tahu semua yang sedang orang lain ketahui, kita terbuai gemerlapnya segala yang berbau kekinian. Padahal, sebelumnya kita belum tentu ingin tahu mengenai hal itu.

Banjir informasi yang begitu melimpah-limpah membuat kita terpaksa berenang-renang dalam aliran tak berujung. Tak tahu kapan berhentinya. Lama-kelamaan kita tenggelam di hilir informasi yang "tidak penting". Kita kehilangan batas antara hal-hal yang patut untuk diketahui dan tidak diketahui. 

Kita bukan lagi mencari informasi karena sejak awal ingin tahu, melainkan kita disodorkan jutaan informasi yang mesti diketahui. Jangan lupa keberadaan informasi palsu, tentu saja mereka membaur sebagai racun yang mematikan jiwa kritis kita.

Tetapi ada yang lebih menakutkan lagi daripada itu semua, yakni perasaan kita sungguh sudah berubah. Semula perasaan sekadar hanya ingin tahu, kini telah menjelma menjadi sangat perlu tahu. Kecemasan itu menghantui kita setiap kali tidak memahami hiruk-pikuk yang sedang orang-orang bicarakan.

Fenomena ini lebih dikenal dengan istilah Fear Of Missing Out (FOMO). FOMO adalah rasa takut merasa ketinggalan akan sesuatu. Entah ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, gosip, tren, film, dan hal lainnya.

***
Dahulu, saat saya masih SMP, saya sering meledek teman-teman yang ketinggalan kabar terbaru dengan sebutan kudet (kurang update). Lalu sewaktu SMA, masa-masa ponsel Android dan Blackberry menjamur, selama tiga tahun giliran saya pula mengalami zaman kudet. 

Sebab pada masa itu, saya belum memiliki akses teknologi canggih seperti kawan-kawan saya. Pun di rumah, televisi kami lebih sering menampilkan gerombolan semut-semut. Jika beruntung, sore hari, sepulang sekolah saya bisa menonton cerdas cermat di TVRI.

Saya tak tahu segala kehebohan tren teman-teman saya di masa itu. Saya memang sudah kenal Facebook dan Twitter (lewat tradisi meminjam ponsel teman), tapi di sana saya lebih banyak menulis kalimat-kalimat tidak penting. Isinya tak jauh-jauh mengenai pengalaman saya di hari itu. 

Pernah saya menulis, "Senior kampret! Kenapa saya lagi yang kena." Atau saya bergaya remaja sok bijak berkhotbah, "Cinta adalah anugerah yang patut disyukuri." Medsos saya, barangkali jadi mirip semacam kitab diari remaja tanggung yang gelisah menyambut kedewasaan.

Demikianlah, saya akui tren mungkin sudah lama ada, tapi saya jarang mengikuti isu dan gaya mutakhir yang ketika itu belumlah segemerlap seperti sekarang ini--- atau mungkin karena saya mendedikasikan diri sebagai hantu penjaga perpustakaan di tahun-tahun itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline