Lihat ke Halaman Asli

Eka Nawa Dwi Sapta

Penulis lepas

Kita Semua Pernah Bermimpi Hidup di Istana

Diperbarui: 22 Januari 2020   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istana via pixabay.com

Fenomena kerajaan fiktif nampaknya sedang menjamur di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung kerajaan Agung Sejagat misalnya,  sang pendiri mengklaim bahwa masih keturunan Syailendra dan penerus Majapahit. 

Setelah ditangkap atas dugaan penipuan dan pembuat keonaran, pendiri kerajaan Agung Sejagat baru-baru ini mengakui jika tindakan yang mereka lakukan merupakan pembohongan dan juga wangsit yang didapatkan itu hanya khayalan.

Timbul pertanyaan di benak saya. Mengapa kerajaan Agung Sejagat dan kerajaan fiktif sejenis memiliki pengikut bahkan sampai ratusan orang?

Sejak kecil, kita sudah terbiasa dengan dongeng dan legenda tentang kerajaan-kerajaan. Tidak hanya cerita dari luar negeri yang identik dengan kehidupan istana nan gemerlapan. 

Di dalam negeri pun kisah-kisah legenda kebanyakkan masih dalam ruang lingkup keluarga kerajaan, yang biasanya dikisahkan mengenai perjalanan seorang pangeran sebelum naik tahta yang mencari permaisuri atau putri jelita, maupun kisah putri miskin (cantik) bertemu pangeran tampan, kemudian mereka menikah dan hidup bahagia, klise memang.Tapi siapapun selalu menyukai sebuah dongeng berakhir manis daripada tragis.

Bukan hal mengherankan lagi, jika kita di masa kecil sering bermimpi hidup dalam istana, menjadi seorang raja, ratu, atau setidaknya sebagai kerabat kerajaan, yang mana  semua kebutuhannya terpenuhi, dihormati, dan diistimewakan.

Sebagaimana Bawang Putih diboyong pangeran ke istana, setelah melewati banyak penderitaan bersama ibu dan adik tirinya (dalam Dongeng Bawang Putih dan Bawang Merah) atau nasib Cinderela ditentukan melalui sayembara sepatu kaca ajaib oleh pangeran (dalam Dongeng Cinderela). 

Masih banyak lagi dongeng serupa seperti Timun Emas, Keong Emas, Putri Tidur, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, dll. Ada juga kisah Ken Arok dan Ken Dedes, Kisah Ramayana, Perang Bubat,  dan masih banyak lagi.

Dongeng  dan legenda tidak hanya mengajarkan pesan moral kepada pembaca, lebih dari itu dongeng mampu memberi perspektif berbeda mengenai kesadaran tentang tingkatan sosial yang masih relevan saat ini.

Satu-satunya pemahaman (lain) yang bisa kita sepakati dari sebuah dongeng kerajaan yaitu, cara termudah melawan kemiskinan ialah dengan menjadi bagian dari keluarga istana.

Pendiri Keraton Agung Sejagat dan kerajaan fiktif lainnya mampu memanfaatkan celah ini. Suatu fiksi akan menjadi fiksi bila hanya ada dalam cerita dan tanpa objek pendukung yang meyakinkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline