Lihat ke Halaman Asli

Ekin Njotoatmodjo

A Current Student, A Budding Diplomat

Penyeimbangan Ekonomi di Tengah Pandemi

Diperbarui: 29 Juni 2020   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Port of Singapore (maritimeinfo.org)

Maret 2020, proyeksi sebaran dan penularan virus corona mulai menunjukkan angka dan gejala yang memprihatinkan. Menanggapi pengumuman universitas bahwa pembelajaran akan dilaksanakan secara online, saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Penerbangan dengan tujuan Seattle-Singapore-Surabaya yang seharusnya terjadwal pada bulan Juni saya majukan. 

Tetapi, dua hari sebelum keberangkatan, saya terperangah tatkala membaca berita online di HP. Headlines saat itu memberitakan bahwa pemerintah Singapura telah membekukan semua perbatasan, termasuk Bandar Udara Changi Airport. 

Beberapa menit setelah berita itu viral di media, HP saya dibombardir tanpa henti, mulai dari orangtua hingga teman yang terus menanyakan kabar. 

Saya mencoba mengecek penerbangan alternatif lain untuk pulang. Hongkong telah mengambil langkah yang sama, diikuti oleh Taiwan.

Dengan demikian, tiga bandara utama di Asia, transit point dan penghubung baik untuk mobilitas manusia dan jalur perdagangan dunia lumpuh dalam waktu kurang dari seminggu

Sebagai seorang pelajar di bidang hubungan internasional dan ekonomi global, saya berusaha mencerna keputusan negara-negara untuk menutup perekonomian mereka. Singapura dan Hongkong memiliki pondasi ekonomi yang bertopang pada status sebagai penghubung ekspor-impor. 

Menurut World Shipping Council, kedua negara termasuk dalam "10 Busiest Port", akses jalur Laut China Selatan, arteri ekonomi dunia, yang lalu lintas perdagangannya tiap tahun bernilai $3,37 Triliun.

Ketika Singapura, Hongkong, dan Tiongkok memutuskan menutup perbatasan mereka, maka otomatis tidak hanya ekonomi negara tersebut yang mengalami disrupsi, tetapi juga jalur dagang secara global.

Teorinya, segala keputusan itu didasari dari seberapa besar biaya peluang untuk melanjutkan perdagangan, sehingga pemerintah "harus" mengambil keputusan besar untuk melakukan penutupan yang dampak ekonomi jangka pendek dan panjangnya sama buruk, baik Amerika Serikat, Singapura, China, bahkan Indonesia sekalipun. Semua pertanyaan ekonomi yang dialamatkan pada pemerintah, pada akhirnya berujung pada satu jawaban: kemanusiaan. 

Bahkan sempat dikatakan bahwa nyawa manusia lebih penting daripada hitung-hitungan untuk menyelamatkan ekonomi. Untuk apa ekonomi diselamatkan, bila manusia sebagai pelaku ekonominya saja musnah. Dalam hal ini, fokus utama yang harus dilakukan adalah pembatasan kegiatan masyarakat secara disiplin, masif dan menyeluruh hingga pandemi ini sirna, juga penyaluran bantuan kemanusiaan.

Banyak orang setuju pada gagasan di atas, pun demikian dengan saya. Kemanusiaan sejatinya adalah harga mutlak. Amanat terpenting pemerintah negara manapun adalah melindungi masyarakat dari ancaman, baik ancaman perang maupun ancaman bencana alam seperti saat ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline