INSEMINASI BUATAN
(Mikael Ekel Sadsuitubun - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)
Inseminasi artifisial atau pembuahan buatan adalah suatu cara atau teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan (coitus). Pembuahan buatan pada umumnya dilakukan dengan cara memasukkan sperma ke dalam rahim, supaya sperma itu akhirnya bertemu dengan sel telur pada saluran telur (tuba) dan menghasilkan pembuahan.
1. Contoh Kasus
Berikut salah satu contoh kasus inseminasi buatan.
Di Indonesia, keberhasilan inseminasi buatan ditandai oleh lahirnya Akmal pada 25 Agustus 1987. Ia lahir dari pasangan suami istri Linda Soekotjo, dengan teknik TAGIT[1]. Adapun dengan teknik FIV[2] tim bayi tabung Indonesia yang diketahui oleh Dr. H. Enud J. Surjana dari Fakultas Kedokteran UI menghasilkan kelahiran Dimas Aldila Akmal Sudiar pada 2 Oktober 1988, dari pasangan suami-istri Wiwik Juwari-Sudirman.[3] Keduanya adalah hasil kerja tim Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi Fakultas Kedokteran UI. Latar belakang dikembangkannya inseminasi buatan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. H. Enud J. Surjana (Ketua Makmal Terpadu FKUI) dan Prof.dr. Asri Rasad (Dekan Fakultas Kedokteran UI) adalah semata-mata untuk membantu pasangan suami istri yang sulit memperoleh keturunan.
2. Prinsip-Prinsip Moral
Kedua contoh kasus inseminasi buatan dan bayi tabung di atas tergolong dalam inseminasi artifisial homolog (menggunakan sperma dari suami sendiri). Sperma diambil dari suami dan ovum dari istrinya yang kemudian ditanam dalam rahim istrinya. Pada kasus pertama, pembuahan dilakukan di dalam rahim istri; sementara pada kasus ke dua, pembuahan dilakukan di luar tubuh (setelah pembuahan baru dimasukkan ke rahim istri). Pada kedua kasus di atas, suami dan istri menggunakan cara "luar biasa" dalam meneruskan keturunan (membuat anak). Mereka tidak meneruskan keturunan (membuat anak) melalui hubungan seksual yang biasa karena permasalahan tertentu (impoten, suami meninggal). Maka, cara "luar biasa" kiranya masih dapat dibenarkan secara moral.
Menanggapi persoalan ini, prinsip moral yang sebaiknya dipakai adalah prinsip dasar: perikemanusiaan. Prinsip moral dengan pengakuan bahwa manusia harus diperlakukan secara manusiawi, diperlakukan sesuai dengan martabatnya, sesuai dengan dirinya sebagai manusia. Kedua bayi hasil inseminasi buatan/bayi tabung adalah seorang manusia. Meskipun mereka melalui proses "luar biasa", mereka tetap adalah seorang manusia. Mereka memiliki orang tua yang mencintai mereka hingga berani memilih cara "luar biasa". Sebagai manusia, mereka memiliki kepribadian yang utuh rohani-jasmani. Mereka adalah anak sah dan jelas nasab ayah ibunya sehingga dalam ketentuan hukum positif mereka sama seperti anak sah lainnya, sebagaimana yang telah diatur dalam UUP pasal 42 dan 55 serta KHI pasal 99 poin a dan b[1] .
Dengan berpegang pada prinsip dasar juga: perikemanusiaan, jika keputusan pasangan suami-istri untuk melakukan inseminasi buatan/bayi tabung hanya untuk bahan percobaan, maka keputusan dan tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral. Mengapa...? karena resiko kegagalan cukup besar, padahal hasil yang diharapkan demi perikemanusiaan sebenarnya tidak memadai sama sekali. Inseminasi buatan/bayi tabung dilakukan dengan melalui proses yang panjang serta memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan dari inseminasi buatan/bayi tabung yakni resiko kerusakan sel sperma yang secara genetik tidak sehat menjadi cukup besar, keberhasilan masih belum mencapai 100%, memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang mahal. Inilah mengapa prinsip "perbandingan nilai" sangat diperlukan dalam mengambil keputusan. Melalui prinsip "perbandingan nilai", pasangan suami-istri dapat melihat, menilai dan memutuskan jalan terbaik setelah membuat perbandingan. Dengan akal budinya, pasangan suami-istri dan para tenaga medis mampu membuat perbandingan nilai manakah nilai yang lebih tinggi atau yang lebih mendesak. Apakah keputusan untuk melakukan inseminasi buatan/bayi tabung merupakan keputusan yang tepat dan mendesak.
3.) Solusi