Lihat ke Halaman Asli

Tetesan Keringat Ayah

Diperbarui: 24 November 2024   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang menjelang sore disaat aku terbangun karena mendapat mimpi yang kurang mengenakkan bagiku, kemudian aku melihat kearah pintu kamar ku yang terbuka dan mendapati sesosok cepat yang sedang lalu lalang, membuat ku yang baru saja bangun dari mimpi tidak mengenakkan menjadi kaget didalam hati lalu aku memberanikan diri turun dari kasur untuk menuju pintu kamarku, aku pun melihat sosok yang berlalu lalang itu, rupanya sosok tersebut adalah ayahku yang sepertinya selesai melakukan pekerjaan di ladangnya,aku memandangi Ayah yang sedang duduk di bangku bambu depan rumah. Wajahnya terlihat lelah, dengan peluh yang masih menetes dari dahinya. Tangannya memegang secangkir kopi hitam yang baru saja dibuat oleh Ibu. Sesekali ia menyeruputnya pelan-pelan, mungkin untuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja di ladang.

Ayahku bukanlah seorang pejabat tinggi atau pengusaha kaya. Dia hanyalah seorang petani sederhana di desa kecil kami. Namun, aku selalu merasa, tidak ada orang yang lebih keren dari pada Ayah.Setiap hari, dia bangun sebelum matahari terbit dan kembali ke rumah saat senja mulai merayap. Ladang jagung di pinggir desa adalah saksi perjuangan ayah disana.

Aku melihat ibu yang sedang bersantai di depan televisi sambil melihat aku yang sedang berdiri,lalu ibu menaikan satu alisnya seolah berkata kenapa kamu berdiri terus melamun seperti itu?, aku yang paham tentang kode yang diberikan ibu pun berkata " aku mau keluar ke ayah sebentar bu."

Ibu pun mengangguk sambil melanjutkan menonton televisi.

Akupun melangkah keluar, lalu duduk di samping Ayah.

“Kamu baru bangun nak?" Tanya ayah.

“Iya yah baru saja tadi" jawabku.

"Pantesan bau, mandi sana" kata ayah sambil mengejek.

"Ih iya nanti dulu baru ngumpulin nyawa" jawabku.

Ayah mengangguk pelan, lalu menyeruput kopinya lagi. Hening sejenak menyelimuti kami. Hanya suara jangkrik dan sesekali hembusan angin yang menemani.

“Ayah capek ya?” tanyaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline