Peraturan Perpajakan dibuat bertujuan untuk menguji kepatuhan wajib pajak terhadap apa yang menjadikan kewajibannya. Pemerintah menerbitkan peraturan perpajakan (Undang-undang HPP, PMK dan sebagainya) mempunyai tujuan supaya ada pemasukan bagi kelangsungan perekonomian negara dan untuk mensejahterakan rakyat pada akhirnya.
semiotika berasal dari kata semeion yang berarti ilmu makna, bagaimana cara membunyikan dan membaca undang-undang. Meskipun pada kenyataannya undan-undang tidak bisa dibaca secara tekstual maupun konseptual.
Bahasa merupakan direct teks, dimana secara langsung digunakan dalam berkomunikasi, sedangkan secara indirect dikenal sebagai simbol.
Dalam makna semiotika orang kaya wajib membayar pajak lebih besar (negara bisa melakukan pengambilan hak yang lebih besar), disini pemerintah bisa membuat peraturan tentang kenaikan PTKP (sebagai teks) dan dengan adanya kenaikan tarif pemerintah berusaha melindungi rakyat kecil (sebagai simbol), Hal Ini dimisalkan tentang undang-undang tarif yang diterbitkan oleh pemerintah.
semiotika sebagai teori kode "signifikasi" tentang sistem aturan berkaitan dengan tanda atau makna. secara struktural adanya pembuatan PMK atau Undang-undang dan Perpu. Secara teori produksi tanda "Komunikasi", adanya gejala tanda, kode, estetika, interaksi, komunikasi. secara pragmatis adanya pembayaran pajak. Sebagai contoh paling lambat di tanggal 10 setiap wajib pajak diharuskan membayar kewajibannya, ketentuan ini sudah diatur sesuai dengan peraturan yang Sudan ditetapkan.
Eco Umberto memfokuskan pada 8 semiotika komunikasi, Yaitu : Sumber (source), pengirim (transmitter), sinyal pengirim (gelombang suara), saluran (channel), sinyal Penerimaan (signal), Penerima (receiver), pesan (message), dan tujuan (destination).
Dalam menulis teks undang-undang perpajakan menjadi otoritas Kementerian Keuangan, didalam menulis teks harus jelas, dipakai untuk siapa peraturan itu dibuat dan harus bisa dipahami oleh pemakai peraturan, disini isi menjadi sangat penting. Teks harus bersifat komunikatif, adanya relasi subjek dan objek (adanya dialektis penulis dan pembaca).
Terkadang antara pengirim dan penerima adanya perbedaan, dimana pengirim atau Pembuatan PMK atau Undang-undang menginginkan penerima atau disebut pembayar pajak, membayarkan pajak setinggi mungkin, sedangkan pihak penerima menginginkan sekecil mungkin dalam membayar pajak, hal Seperti itu bisa disebut sebagai Semantik Pragmatik. semantik Pragmatik masih adanya ambiguitas, over under estimasi, dan adanya ketidaktepatan.
Undang-undang harus mempunyai Bahasa yang lugas, mudah dipahami, tidak ambigu dan tegas. Bahasa dalam undang-undang tidak diperbolehkan hipersemotika (adanya multi tafsir). Dalam memahami undang-undang bisa dilihat dari keseluruhan undang-undang, atau pasal per pasal maupun bab per bab dan kata per kata. Sehingga dalam memberikan makna suatu teks bukan asli tetapi representasi.
Menurut Ferdinand De Saussure Bahasa adalah sebuah fungsi listening, talking, writing, reading, understanding. Dimana lebih kompleks, dalam Bahasa terkandung makna Bagaimana mendengarkan, berbicara, menulis, membaca, dan mengerti apa makna yang ada didalamnya. Seperti undang-undang didalamnya ada makna yang harus dipahami. Bahasa memiliki struktur, dan merupakan sister tanda.
Mengapa perlu semiotika strukturalisme? Struktur adalah seperangkat unsur di mana antara unsur atau subperangkat unsur tersebut terdapat satu hubungan yang sangat erat.Struktur tidak memerlukan unsur-unsur yang berasal dari luar (ekstrinsik) untuk melakukan prosedur-prosedur transformasi tersebut.Struktur itu berlaku secara otonam. Dengan demikian struktur tersebut memelihara sifatnya tanpa adanya pengaruh dari luar. Bentuk-bentuk yang dapat dianggap sebagai regulasi diri (self-regulation), misalnya PMK ataupun Perpu serta kaidah-kaidah yang ada dalam struktur itu sendiri.