[caption caption="www.kompasiana.com"][/caption]Dear Diary,,
‘Biarpun merdunya pekikan burung itu lenyap, tak mengapa jika akan ada siulan baru burung pipit yang hinggap di dahan sebelah. Nun jauh disana sebuah bintang menjelma bagai bongkahan ilusi yang tak lekang oleh waktu. Gemericik gerimis menyiratkan, tak ada lagi waktu yang tersisa. Dapatkah ia kembali seperti sediakala?’
Siuuuuuuuuuuuuu, suara bergemuruh…
Sudah mesti tak ada lagi episode baru yang sejatinya tak harus ada, bukan maksud menutupi. Namun sebagian inti dari semua ini adalah kamu.
“Jadi gitu tho Bi?” aku hanya bisa mengiyakan perkataan Bibi,
“Berarti udah lama ya dia digituin. Pantesan aja ada yang beda dari sikap dia, suka cari perhatian. Ternyata dia punya luka di masa lalu?” tambahku.
Hay Dear,,,
Kala itu aku masih tak percaya jika Ia seperti itu. Tapi aku pun merasa ada hal aneh darinya, feelingku mengatakan bahwa ia punya dunia lain. Pikirku mungkin dunia ciptaanyanya itu adalah hasil dari pemberontakannya dari luka hatinya yang sudah lama yang mungkin saja mengeras.
Dalam-dalam ku hirup udara segar menyegarkan hidung, menarik semua energy positif dari sekitar. Dengan sabar aku menunggu bersama ia yang ku anggap lara hatinya itu. Tapi Dear bila diperhatikan lebih sekasama nyaris tak ada yang salah. Senyumnya merekah, matanya sedikit sayu dan sedikit muka lelah yang tertera. Entah apa yang ku rasa, melihatnya dengan enggel seperti ini membuat ia tampak lebih karismatik. Begitulah pikirku, padahal ia punya setumpuk beban yang tak berkesudahan.