Sejak kapan kita mulai memahami bahwa uang sebagai alat tukar ternyata memiliki kuasa yang besar dalam hidup? Barangkali sejak kita tahu bahwa untuk mendapat permen merah berbetuk telapak kaki dari sebuah toko kelontong, kita memerlukan selembar kertas dengan tulisan "seribu rupiah" dipojok kanan bawahnya.
Atau barangkali kita mulai mengetahuinya saat kita perlu memberikan upah seratus ribu rupiah kepada petugas kecamatan untuk memeroleh KTP baru yang sempat hilang, dengan durasi waktu yang cenderung lebih singkat daripada harus melewati prosedur umum melalui disdukcapil.
Proses dalam memahami kuasa "uang" dalam kehidupan sosial sebagai sesuatu yang menggerakkan dan bahkan mengubah seseorang bukanlah hal yang tabu. Karena pada dasarnya semua yang ada di dunia ini memiliki harga, dan uang barangkali tidak saja dalam bentuk pecahan, koin maupun kartal. Ia bisa apa saja, selagi ia diberi makna untuk dapat dipertukarkan, atas dasar konsensus, maka itulah definisi uang.
Pada sebuah pengantar yang disampaikan oleh Slavoj Zizek, seorang filosofer Slovenian, mengenai konsep dasar masa depan dari budaya kapitalisme, yang kemudian beralih pada istilah budaya konsumerisme, posmoderenisme atau kampanye yang mengarah kepada kepedulian ekologis, dan lain sebagainya. Ia menggambarkan tentang bagaimana pergeseran pemahaman mengenai budaya konsumtif dan konsep charity (sumbangan) yang berubah menjadi perpaduan antara kedua elemen tersebut. Zizek menggambarkan kedua hal tersebut dengan contoh membeli kopi.
Kita barangkali tidak menyadari, ketika kita sebuah kafe untuk membeli kopi, dengan dalih ingin menyelamatkan bumi dari penggunaan plastik berlebih, kita rela mengeluarkan budget yang lebih besar untuk secangkir kopi yang dikemas dalam kemasan tumblr yang dapat digunakan berulang kali, daripada membeli kopi dengan kemasan plastik yang harganya lebih murah, namun dengan konsekuensi menambah limbah plastik dibumi. Namun, itulah lingkaran proses budaya konsumtif, dimana terkadang kita bahkan tidak keberatan untuk mengeluarkan uang demi membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Seringkali kita disadarkan dengan fenomena tersebut ustru bukan dalam kehidupan nyata, melainkan melalui media lain, seperti opini-opini dalam artikel, cerita, novel, hingga film. Jika pernah menonton serial drama netflix yang berjudul Celebrity, kita akan dapat melihat bagaimana budaya konsumtif sangat tampak dari adegan-adegan yang diceritakan. Pola hidup hedonisme yang tergambar sangat mencerminkan bagaimana sebuah kelas sosial tertentu dapat memengaruhi dan membentuk pola konsumtif seorang individu. Rasa takut ketinggalan atau sering disebut FOMO (Fear of Missing Out) menjadi salah satu aspek mengapa orang berlomba-lomba untuk tetap mengikuti gaya hidup, yang bahkan tidak sesuai dengan kapasitas dompetnya. Mereka yang terlibat hanya ingin pengakuan bahwa mereka juga bisa memasuki kelas sosial tersebut, meski pada kenyataannya mereka hanya memaksakan untuk masuk ke dalam lingkaran kelas sosial yang tidak sesuai dengan kapasitas dirinya, dan justru menjerumuskannya ke dalam upaya-upaya kriminal, misal memanipulasi, berbohong, berhutang, bahkan hingga mencuri.
Dalam konsep lain yang juga dikemukakan oleh Zizek adalah kekuatan bahasa yang dominan dan dapat menjadi simbol kekerasan. Sebagai simbol kekerasan, bukan berarti bahasa itu bersifat merusak secara langsung, melainkan melalui alam bawah sadar manusia yang tidak secara sadar telah mengarahkannya pada jalur tertentu dalam menerima dan mengolah sebuah informasi. Dalam kasus budaya yang konsumtif, kelompok orang yang berada dalam usia produktif, memiliki tendensi untuk mengikuti gaya hidup tertentu sesuai lingkungan. Kembali mengambil contoh kopi, melalui bahasa yang dituliskan pada iklan promo di layar saat masuk ke dalam coffee shop, atau melalui tuturan dari bagian kasir akan dapat memengaruhi penilaian dan juga pengambilan keputusan konsumen dalam membeli sebuah produk. Meski ada faktor lain yang juga berpengaruh, misalnya dari cara penyampaian dan keramahan pegawai coffee shop itu sendiri terhadap konsumen, tetap saja bahasa menjadi aspek dominan dalam memengaruhi keputusan akhir yang akan diambil oleh konsumen.
Saat konsumen memilih untuk membeli kopi ukuran medium, kemudian dengan sigap sang pegawai menawarkan ukuran grande yang harganya lebih mahal dengan sisipan kalimat "dengan membeli kopi ukuran grande, Anda telah berdonasi dan berkontribusi untuk pendidikan anak di pedalaman", dengan berpikir bahwa mengeluarkan uang lebih saat membeli ukuran grande berarti sama dengan berdonasi, konsumen akan terpengaruh dan memutuskan untuk upgrade dari medium ke grande. Dengan demikian, tergambarlah kekuatan bahasa yang dominan.
Maraknya kedai-kedai kopi yang mengusung tema "estetik", menjadi tempat pangkalan anak muda saat ini, mulai dari sebagai working-space, tempat berkumpul bersama kawan-kawan, hingga sekadar mengambil gambar untuk menambah koleksi feed/story instagram. Penilaian baik atau buruknya suatu barang maupun tempat saat ini tidak lagi susah untuk ditemukan.
Cukup dengan membuka internet, dan mencari kolom ulasan, atau komentar, kita sudah dapat menilai sesuatu bahkan sebelum melihat atau mengunjungi tempatnya secara langsung. Disinilah peran bahasa sebagai simbol kekerasan itu bekerja. Kita dapat melihat bagiamana orang-orang berargumen, mungkin tentang rasa kopi, pelayanan, atau bahkan akses ke tempat itu yang cukup sulit, sehingga membuat calon pengunjung mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke tempat itu. Pengaruh bahasa menjadi krusial dan kembali lagi memengaruhi keputusan seseorang.
Budaya konsumtif sejatinya tidak hanya tersentralisasi pada kota-kota besar, tapi sudah merambah pada hampir setiap ibukota provinsi di Indonesia. Kebutuhan pokok bergeser dari yang sekadar sandang, pangan, dan papan, kini bertambah dengan segelas kopi gula aren. Timbal-balik kapitalisme-konsumerisme terus bergulir setiap hari.