Energi fosil masih mendominasi konsumsi energi primer (tanpa biomasa tradisional), di mana konsumsi minyak bumi 88 juta TOE atau sekitar 41% dari total konsumsi energi nasional, diikuti batubara dengan 69 juta TOE atau 32,3%, gas 42 juta TOE atau 19,7%, biomasa modern 6 juta TOE atau 2,9%, tenaga air 5 juta TOE atau 2,5%, panas bumi 2 juta TOE atau 1,1% dan listrik impor 0,8 ribu TOE atau 0,4%. Peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri dan penurunan produksi minyak bumi telah menyebabkan ekspor minyak bumi menurun dan impor yang terus meningkat. Hal tersebut disebabkan karena pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang terus mengalami tren positif, sementara produksi minyak mentah dalam negeri terus mengalami penurunan dan kapasitas kilang yang tetap stagnan dari tahun ke tahun.
Cadangan minyak bumi di Indonesia, sayangnya tidak diimbangi dengan proses produksi dan ketersediaan kilang minyak yang tersebar di beberapa pulau-pulau kecil. Hal itu menyebabkan kelangkaan dalam ketersediaan BBM di pulau-pulau di luar Jawa khususnya, sehingga dalam proses distribusinya akan meningkatkan ongkos dan malah menambah beban masyarakat karena berdampak pada kenaikan harga BBM tersebut. Ongkos pembuatan kilang yang tidak sedikit, juga menjadi hambatan hingga saat ini. Diperkirakan, ongkos pembuatan satu kilang minyak berada di kisaran US$ 8-10 milyar.
Penggunaan biofuel sebagai energi alternatif harus massif dilakukan, pemerintah harus mulai bergerak radikal untuk bisa menyukseskan penggunaan biofuel sebagai energi alternatif untuk menggantikan energi fosil. Sekurang-kurangnya akan ada 3 langkah utama yang perlu dilakukan pemerintah guna menyukseskan biofuel sebagai bauran energi nasional yang dapat menggantikan atau setidak-tidaknya mengurangi penggunaan energi fosil. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah penelitian yang efektif, dilanjutkan proses produksi yang massif dan diimbangi dengan produksi hulu yang sustainable dan ramah lingkungan, serta penyerapan hasil dalam negeri dari hasil produksi yang efisien.
Pengembangan biofuel di Indonesia masih tergolong minim. Jika dibandingkan Brazil yang sudah mampu menyediakan kebutuhan energi nasionalnya dengan biofuel dan memiliki kebijakan bus dengan bahan bakar ED95, Indonesia hanya mampu mengeluarkan kebijakan B20 dan untuk penerapannya pun belum lama diberlakukan dan diperluas untuk kendaraan pribadi, sebelumnya hanya ditujukan untuk kendaraan Public Service Obligation (PSO). Jika setengah dari dana pembuatan kilang minyak untuk pulau-pulau kecil dialokasikan untuk biaya penelitian biofuel generasi ke-2 dan setengah dananya lagi digunakan untuk pembuatan kilang minyak sederhana guna pemenuhan kebutuhan harian warga, maka bukan tidak mungkin usaha pemerintah untuk menyusul Brazil dapat tercapai.
Biofuel generasi ke-2 saat ini adalah kunci sebagai upaya mitigasi dari kelangkaan energi fosil. Biofuel generasi ke-2 dihasilkan dari proses pemecahan lignin menjadi hemiselulosa, dan bahan baku yang paling utama adalah limbah hasil pertanian seperti jerami, dan hasil sisa tandan kelapa sawit. Kedua bahan tersebut, bisa ditemukan hampir di seluruh penjuru Indonesia, sehingga penerapan untuk proses produksi biofuel generasi ke-2 akan sangat efektif untuk meningkatkan produksi yang masih sangat minim guna meningkatkan target bauran energi nasional pada tahun 2025 mendatang.
Apabila pulau-pulau kecil masyarakatnya bercocok tanam hortikultura, sisa limbah jerami dari padi ataupun limbah organik lainnya dapat dimanfaatkan untuk penggunaan bahan baku biofuel. Bukan hanya energi yang akan tercukupi nantinya, swasembada untuk padi, jagung, dan kedelai juga dapat dicapai karena masyarakat akan lebih tertarik untuk mulai menanam tanaman pajale akibat sisa limbah dari jerami dapat dimanfaatkan untuk dijual guna meningkatkan keuntungan para petani yang selama ini hanya dimanfaatkan dengan cara dibakar guna menambah unsur hara di sawah. Jumlah limbah padi (jerami) yang dihasilkan di Indonesia pada tahun 2016 saja mencapai 114 juta ton. Nilai yang sangat fantastis dan memprihatinkan di saat yang bersamaan jika tidak dikonversi menjadi biofuel generasi ke-2. Maka perlu dilakukan upaya pembangunan biorifenery di pulau-pulau kecil agar masyarakat dapat mengusahakan penanaman pajale serta produksi biofuel.
Hal lain yang perlu diperhatikan selain daripada produksi adalah penyerapan dalam negeri untuk biofuel itu sendiri. Penyerapan dalam negeri yang berada pada kisaran 50% untuk biofuel masih sangat minim, sisa dari biofuel yang tidak terserap akhirnya ditujukan untuk diekspor ke eropa yang selalu menentang hasil biofuel Indonesia dengan pemberlakuan anti dumping-nya.
Selain kebijakan anti dumping, parlemen eropa juga mengeluarkan draft "the Draft of Directive on the Promotion of the Use Energy from Renewable Sources" untuk penghentian penggunaan minyak kelapa sawit yang diproduksi di Indonesia dengan claimnya bahwa CPO di Indonesia menyebabkan deforestasi yang massif dan banyak perusahaan sawit yang mempekerjakan pekerja di bawah umur. Maka perlu dilakukan upaya sosialisasi untuk penggunaan biofuel dalam negeri agar dapat mengimbangi produksi biofuel. Selain upaya sosialisasi, subsidi untuk produsen biofuel juga perlu dilakukan agar harga yang beredar di pasaran tidak malah menjadi lebih mahal dibanding bahan bakar energi fosil.
Penggunaan energi fosil harus segera diminimalisir dengan penggunaan energi bauran dari biofuel. Penelitian yang masih berfokus pada biofuel generasi pertama harus segera diubah arahnya menjadi biofuel generasi ke-2, penanaman pajale untuk pemenuhan swasembada pangan serta bahan baku biofuel yang diimbangi dengan pembuatan biorifenery di wilayah pulau-pulau kecil di Indonesia untuk menggantikan kilang minyak dari energi fosil harus segera dilaksanakan, dan sosialisasi agar penggunaan biofuel pada tahap konsumen dalam negeri harus gencar dilakukan. Ketiga langkah tersebut, harus dilakukan dengan sepenuh hati dan benar-benar didukung oleh pemerintah.