Lihat ke Halaman Asli

Eka Ratna Amelia

Mahasiswa MAP Univ. Mulawarman

Mendorong Kemandirian Pangan Berbasis Pangan Lokal di Kalimantam Timur

Diperbarui: 15 Desember 2024   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ketahanan Pangan Kaltim (Sumber: DALL.E)

Latar Belakang

Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki potensi besar untuk mencapai kemandirian pangan berkat sumber daya lokalnya seperti jagung, umbut rotan, dan pisang kepok. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan pangan lokal masih rendah. Berdasarkan data Bappeda Kaltim, ketergantungan Kaltim terhadap impor beras mencapai 40%, sementara produksi lokal hanya mampu memenuhi 60% kebutuhan. Selain itu, pola konsumsi masyarakat yang tidak beragam membuat pangan lokal semakin terpinggirkan. Kondisi ini berdampak langsung pada ketahanan pangan, ekonomi lokal, dan kesehatan masyarakat.

Meskipun pemerintah telah menerapkan kebijakan seperti UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, program B2SA, dan Perpres 81 Tahun 2024 tentang percepatan diversifikasi pangan berbasis lokal, implementasinya masih menghadapi kendala. Masalah utama terletak pada minimnya infrastruktur distribusi, rendahnya edukasi masyarakat, serta kurangnya dukungan riset dan inovasi untuk pengembangan pangan lokal.

Permasalahan Utama

Rendahnya pemanfaatan pangan lokal di Kalimantan Timur disebabkan oleh beberapa faktor utama:

  1. Ketergantungan Tinggi pada Impor. Sekitar 40% kebutuhan pangan, terutama beras, masih dipenuhi dari luar daerah seperti Sulawesi dan Jawa. Ketergantungan ini membuat pasokan pangan rentan terganggu oleh faktor eksternal, seperti krisis rantai pasok global.

  2. Infrastruktur Distribusi yang Buruk. Daerah penghasil pangan seperti Paser mengalami hambatan distribusi akibat buruknya akses jalan dan minimnya fasilitas penyimpanan. Akibatnya, produk lokal sulit menjangkau pasar perkotaan dan kalah bersaing dengan produk impor yang lebih murah dan mudah diakses.

  3. Pola Konsumsi yang Tidak Seimbang. Menurut data Satu Data Kaltim, konsumsi masyarakat Kaltim didominasi oleh karbohidrat (56,84%), sementara konsumsi buah, sayuran, dan umbi masih di bawah standar. Akibatnya, angka kekurangan gizi pada anak mencapai 15%, yang memperburuk kesehatan masyarakat.

  4. Minimnya Dukungan Inovasi dan Riset. Rendahnya investasi dalam riset dan teknologi pengolahan menyebabkan produk pangan lokal kurang memiliki nilai tambah dan daya saing di pasar domestik maupun internasional.

Dampak dari Permasalahan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline