Lihat ke Halaman Asli

Eka Mastika

Guru Matematika SMP

Zonasi Menghapus Ekslusifisme Pendidikan?

Diperbarui: 3 Juli 2019   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya mulai dengan sebuah pernyataan atau pertanyaan itu tergantung kita yang menyikapinya. Kata zonasi ini dalam beberapa minggu menjadi trending topic dan keyword dalam permasalahan di bidang pendidikan. 

Kenapa permasalahan? Karena sudah menimbulkan pro kontra di masyarakat. Jika menilik lebih jauh lagi sebenarnya program ini sudah dilaksanakan semenjak 3 tahun lalu, saya masih ingat bagaimana hiruk pikuknya di setiap bulan juni sampai juli dan mereda setelahnya. Sama seperti tahun ini, apakah akan seperti tahun-tahun sebelumnya? Kita lihat saja.

Pro dan kontra kebijakan ini benar-benar mengemuka dikalangan orang tua. Yang pro mungkin saja bersikap bijak terhadap kebijakan pemerintah ataupun memang berada di lingkungan yang dekat dengan sekolah yang diinginkanya. 

Sementara yang kontra pastilah beberapa orang tua yang memiliki anak yang dianggap berprestasi dan layak masuk ke sekolah favorit tetapi terbentur jarak. 

Saya sempat membaca di salah satu portal berita online, bahkan orang tua sampai membandingkan dua buah sekolah dilihat dari toiletnya dimana yang satu seperti hotel berbintang sedangkan yang lain joroknya bukan main.

Selanjutnya saya ingin memposisikan diri sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Saya melihat fenomena keresahan sebagian orang tua sebagai refleksi bagi saya dan mungkin orang-orang yang sehari-hari berada dalam ruang yang sama dengan saya. 

Sudah sepatunya pendidik menjadi garda terdepan dalam perubahan kebijakan yang boleh dikatakan radikal ini. Bagaimana caranya setiap pendidik dapat menjadikan tempat mengajarnya sebagai sekolah favorit dan ini tentunya bukan hal yang mudah serta memerlukan proses untuk selalu berinovasi. 

Sekolah favorit atau tidak itu bukanlah menurut sudut pandang pendidik tetapi sudut pandang anak didik dan orang tuanya, sehingga peran pendidik dan lingkungan di dalamnya sangatlah menentukan timbulnya stigma itu di masyarakat. 

Tidak ada alasan lagi bagi sekolah yang terbiasa mendapat input tidak baik kembali mengeluh hal yang sama kedepannya. Juga impliklasinya bagi guru-guru disekolah favorit akan mendapat tantangan baru bagaimana membelajarkan anak-anak yang memiliki kemampuan yang heterogen.

Untuk para orang tua hendaknya bisa mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada anaknya, jangan sampai karena hanya ingin mendapatkan sekolah yang diinginkan harus melakukan hal-hal yang tidak fair. 

Ini memberikan dampak buruk bagi anak kita karena mereka terbiasa diberikan kemudahan dan tentunya tidak mengajarkan prinsip-prinsip ketahanmalangan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline