ABSTRAK
Desentralisasi asimetris merupakan salah satu ide atau wacana yang kian marak diperbincangkan oleh ilmuwan, pemerhati dan pelaku pemerintahan di Indonesia. Intensitas pembicaraan tentang desentralisasi asimetris ini tidak dapat dipisahkan dari pengalaman penyelenggaraan pemerintahan terutama pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah sekarang ini dijalan-kan di atas prinsip otonomi daerah dan desentralisasi. Kesadaran bahwa keragaman–geografis, sosiologis, historis, politis dan budaya–yang dimiliki Indonesia dari setiap daerah membuat para pemimpin nasional kita sejak kemerdekaan telah menerapkan konsep otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan kadar yang berbeda-beda.
Undang-undang pertama yang ditelurkan oleh republik yaitu UU 1/1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Telah menitikberatkan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Demikian juga dengan peraturan perundangan berikutnya mulai UU 22/1948, UU 32/1956, UU 1/1957, Perppu 6/1959 dan 5/1960, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999 sampai dengan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah di era reformasi sekarang. Pengaturan otonomi daerah ini jelas diperlukan karena konstitusi telah mengamanatkan perlunya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom dalam Pasal 18 UUD 1945.
Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan suatu keniscayaan dalam negara moderen karena dapat dijadikan sebagai sebuah indikator bahwa sebuah negara tengah melakukan proses demokratisasi. Sebab, pada prinsipnya tujuan akhir dari demokratisasi yaitu kesejahteraan masyarakat, dan otonomi daerah serta desentralisasi merupakan salah satu cara yang cukup popular untuk mengakselerasi kesejahteraan tersebut kepada masyarakat.
Namun, setelah hampir 70 tahun Indonesia merdeka dan selama itu pula otonomi daerah diberlakukan. Bahkan lebih lama lagi jika dihitung sejak diberlakukannnya Decentralisatie Wet tahun 1903. Kesejahteraan yang di-maksud tampaknya tidak kunjung menghinggapi segenap masyarakat dengan maksimal. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, pemerintah daerah justru tersandera dan terus berkutat pada aturan-atruran prosedural yang kadang membatasi ruang gerak dan kreativitas pemerintah daerah dalam mengatasi masalah di daerah.
Sementara itu, desentralisasi yang memuncak sejak 1999 justru hanya dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah semata tanpa melihat konteks suatu daerah secara komprehensif. Sehingga ada banyak daerah yang justru kelihatan tertatih-tatih membangun daerahnya setelah mendapat limpahan kewenangan. Yang ujung-ujungnya membuat banyak daerah di era otonomi malah hidup dan matinya bergantung pada kebaikan hati pemerintah pusat atas besaran alokasi anggaran yang diberikan ke daerah. Sehingga tidak sedikit orang yang pesimis dengan pelaksanaan otonomi daerah apalagi desentralisasi asimetris dalam upaya penyejahteraan masyarakat. Terlebih, konon katanya kedua hal di atas dapat mengancam eksistensi negara kesatuan.