Lihat ke Halaman Asli

Partai Catch-all dan Kartel

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MAKALAH

TIPOLOGI PARTAI POLITIK: CATCH-ALL DAN KARTEL

Diajukan sebagai tugas akhir mata kuliah Partai Politik

KELOMPOK 5:

1.EKAMARA ANANAMI PUTRA                   11/312254/SP/24519

2.SYAFRIL NAZIRUDDIN                      11/312081/SP/24487

3.MUHAMMAD ABRAR                        11/312090/SP/24489

4.NOVA TRI UTOMO                                       11/312069/SP/24484

5.CLARA STELLA                                  11/312339/SP/24534

6.ARLITA FERDIANA I.                         11/312300/SP/24528

7.WIDYA NINGRUM                              11/312110/SP/24492

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2011/2012

Dalam suatu sistem demokrasi yang banyak dianut oleh banyak negara seperti saat ini, keberadaan partai politik merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan seringkali derajat demokrasi suatu negara diukur dari tingkat pertumbuhan dan perkembangan partai politiknya. Di Indonesia sendiri, partai politik telah diakui sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi.

Telah banyak tulisan dan kajian yang membahas tentang partai politik, salah satu kajian tersebut membahas mengenai tipologi partai politik. Tulisan Katz dan Mair (1995), setidaknya paling banyak menjadi rujukan dalam hal ini. Partai politik oleh mereka dibagi menjadi sedikitnya dalam lima tipologi, yaitu partai elit, partai massa, partai catch-all, partai kartel dan firma bisnis. Dan dalam tulisan ini akan lebih fokus pada pembahasan partai catch-all dan kartel.

state

elite and cadre             catch-all and

parties                   cartel parties

individual                                                                            collective

business firm               mass parties

civil society

A.PARTAI CATCH-ALL

1.Asal-Usul dan Perkembangan Partai

Sejak tahun 1950 terdapat beberapa model partai baru salah satunya partai catch-all. Partai ini disebut pula sebagai broker antara masyarakat sipil dan negara. Karena di satu sisi mengagregasi dan mewakili kepentingan masyarakat sipil di dalam birokrasi atau negara. Sementara di sisi yang lain menjadi agen dari birokrasi atau negara dalam melaksanakan kebijakan publik (Katz dan Mair, 1995).

Dalam catatan yang lain partai catch-all merupakan pertalian atau penyatuan antara massa dengan kelompok kepentingan. Karena awalnya partai ini merupakan bentuk profesionalisasi organisasi kepartaian dari partai massa dan menyesuaikan ideologi dengan tujuan dapat merangkul pemilih yang lebih luas di luar basis kelas maupun agama tempat mereka berasal (Pamungkas 2011).

Sesuai dengan namanya, catch-all, partai ini memang berusaha untuk meraih atau memiliki massa yang sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai tersebut maka partai ini tidak hanya berusaha mendekati massa yang berasal dari kelompok, etnis atau agama tertentu laiknya partai massa. Tetapi juga berusaha memiliki massa dari pelbagai macam kelompok dan agama. Sehingga partai ini di Amerika Serikat sebagai tempat pertamanya muncul juga dikenal dengan sebutan big tent party (partai tenda besar).

Salah satu ilmuwan politik selain Katz dan Mair yang meneliti model partai ini yaitu Kirchheimer. Menurutnya partai ini muncul ketika kondisi partai semakin elitis dan perbedaan ideologi antarpartai-partai semakin berkurang. Apalagi perluasan hak pilih saat itu (hak memilih bagi setiap orang) yang menunjukkan demokrasi semakin mapan. Dan pada saat yang bersamaan standar kehidupan meningkat sehingga ikatan kelas tsecara tradisional menurun (Sudargo 2008).

Perkembangan partai catch-all tidak dapat dilepaskan dari gencarnya modernisasi dan globalisasi. Standar kehidupan tiap orang yang memiliki hak pilih semakin modern sehingga semakin pandai untuk memilih partai atau bahkan dalam penggunaan hak pilihnya. Sehingga partai catch-all sadar akan hal itu dan berusaha merangkul sebanyak-banyaknya pemilih tanpa ada pembedaan satu sama lain.

2.Elektoral Sistem

Berbicara mengenai elektoral sistem yang dianut partai catch-all, maka yang terutama dibicarakan yaitu dimensi pemilih dari partai ini. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa partai ini berusaha merangkul pemilih sebanyak-banyaknya karena juga semakin meluasnya hak pilih dan kecerdasan pemilih akibat demokratisasi dan modenisasi. Namun pada umumnya pemilihnya berasal dari kelas menengah.

Sementara basis sosial dari partai catch-all melampaui kelompok pendukung inti. Yang basis sosialnya merupakan perluasan dari basis sosial partai massa (Pamungkas 2011). Berarti, jika sebelumnya dari partai massa basis sosialnya hanya bergantung pada suatu etnis tertentu. Maka ketika bertansformasi menjadi catch-all basis sosialnya berasal dari pelbagai macam etnis bahkan dapat melampaui kelompok etnis yang pertama sebagai pendukung inti.

Untuk rekrutmen elit partai, partai catch-all menggunakan model rekrutmen eksternal (Katz dan Mair, 1995). Karena berasal dari pelbagai kelompok kepentingan, maka untuk rekrutmen elit partai tidak hanya berasal dari pendukung inti partai. Bahkan seringkali yang menjadi elit dari partai catch-all berasal dari kelompok-kelompok kepentingan yang menjadi perluasan dari basis sosial tadinya.

Partai catch-all berdasarkan konseptualisasi yang dilakukan oleh Wolinetz merupakan partai yang berorientasi pada pencari-suara (vote seeking). Sehingga perdebatan pada patai ini mengenai kebijakan kurang menonjol karena tidak begitu penting. Kalaupun ada terbatas pada pimpinan partai atau pada komite kebijakan partai. Akibatnya infrastrukutur partai untuk mendukung kebijakan terbatas dan biro riset atau komite kebijakan partai terlalu kuat (Pamungkas 2011).

Karena berorientasi pada vote-seeking maka pada bagian ideologi partai pun berbasis pada pemilih. Basis kompetisi partai yaitu kualitas manajemen sektor publik, ketika sejauhmana pelbagai persoalan publik dapat dikelola sedemikian rupa sesuai dengan mood mayoritas pemilih (Pamungkas 2011). Artinya, partai catch-all dalam hal ideologi terdapat kekaburan batas ideologi dan fleksibel. Beda kiranya dengan partai massa yang memiliki ideologi yang jelas dan tetap bahkan menjadi basis kompetisi partai.

Kekaburan dan kefleksibelan ideologi partai dapat dipahami karena tujuan partai yang hanya meraih suara atau pemilih sebanyak-banyaknya. Apalagi mood mayoritas pemilih sangat memengaruhi ideologi partai. Jika pemilu tahun ini mayoritas pemilih menginginkan pemerataan ekonomi, maka partai akan bersikap demikian. Walaupun pada pemilu sebelumnya partai cenderung bersikap pada pertumbuhan ekonomi, karena mayoritas pemilih saat itu juga menginginkan pertumbuhan ekonomi.

3.Pengorganisasian Partai

Dalam pengorganisasian partai, massa atau dalam hal ini anggota mengalami peminggiran peran dan aspirasi (Katz dan Mair, 1995). Sifat ke-catch-all-an yang dimiliki partai dengan orientasi pada vote-seeking membuat peran dan partisipasi anggota di dalam partai dirasa kurang penting. Karena yang terpenting yaitu aspirasi mood mayoritas pemilih dan suara anggota ditinggalkan ketika tidak sesuai dengan mood tersebut (Pamungkas 2011).

Seperti yang dikatakan oleh Epstein (dikutip oleh Sudargo, 2008), bahwa partai catch-all merupakan model “contagion from the right” (bersumber dari kanan) atau model pengorganisasian partai non-sosialis-lah yang berlaku. Yang memunculkan pertanyaan tentang model pengorganisasian tersebut. Model pengorganisasian yang disebutkan di atas merupakan model ketika peran anggota dipinggirkan. Epstein beranggapan bahwa partai tidak perlu menyediakan anggota atau aktivis yang berpengaruh karena tidak begitu penting.

Hubungan antara partai di tingkat pusat merupakan subordinasi dari partai yang bermain di ranah publik. Dan menimbulkan pertanyaan baru mengapa demikian? Padahal umumnya partai di tingkat pusat memiliki kekuasaan yang lebih dan cenderung powerful. Jawaban dari pertanyaan tersebut yaitu, karena partai mengikuti mood mayoritas pemilih maka partai yang ada di ranah publik lebih mengetahui apa-apa atau mood terbaru apa yang diinginkan oleh mayoritas pemilih.

Sehingga partai di ranah publik dapat mengendalikan perilaku dan keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh partai di tingkat pusat. Selain itu partai di ranah publik merupakan tempat konsentrasi dan sumber-sumber kelompok partai parlemen (Pamungkas 2011). Sejalan dengan pemikiran Epstein (dikutip oleh Sudargo, 2008), bahwa perkembangan media, poling-poling opini dan teknologi harus dimanfaatkan oleh partai dengan baik dalam memainkan isu atau kebijakan publik.

Pemanfaatan teknologi dan media dirasa lebih efektif untuk mengikuti mood mayoritas pemilih. Dibandingkan dengan menggunakan mesin partai yang bersifat keanggotaan atau massa. Karena seringkali pendapat dari anggota justru berbanding terbalik dengan pendapat mayoritas pemilih. Sementara kontribusi dari pelbagai macam sumber menjadi sumber daya utama partai.

4.Kontekstualisasinya di Indonesia

Pertanyaan penting dari pembahasan partai catch-all ini dan pada pembahasan berikutnya yaitu kontekstualisasi model partai di Indonesia. Yaitu adakah partai di Indonesia yang menggunakan model catch-all atau setidak-tidaknya mirip dengan model catch-all? Pertanyaan mengenai contoh partai di Indonesia kadangkala cukup susah untuk dijawab. Mengingat sistem multipartai yang dianut Indonesia menimbulkan banyak partai yang memiliki kesamaan ideologi bahkan kabur. Ditambah dengan sifat banyak partai di Indonesia yang sungkan untuk mengklaim dirinya sebagai salah satu partai yang menggunakan model atau tipologi tertentu.

Tetapi jika dilihat terutama sekarang ini, model partai catch-all ternyata digunakan atau setidak-tidaknya mirip oleh salah satu partai di Indonesia yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Walaupun tidak dapat dikatakan sepenuhnya catch-all karena pada titik tertentu seperti ideologi, PKS masih memiliki ideologi yang cukup jelas yaitu Islam dan cukup konsisten. Juga peran partai di tingkat pusat yang masih kuat dan cukup dominan dibandingkan partai di ranah publik. Lalu mengapa PKS dapat dikategorikan sebagai partai catch-all?

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan bentuk partai massa yang bertransformasi untuk memprofesionalisasikan pengorganisasian partainya. PKS yang pada pemilu 1999 bernama Partai Keadilan (PK) merupakan partai massa dengan berbasis pada kelompok tarbiyah, pada pemilu 2004 berubah menjadi PKS. Perubahan ini terutama menyangkut perolehan suara PK yang minim.

Sejak 2004 terutama pada pemilu 2009, PKS berusaha merangkul semua orang (catch-all) untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Walaupun basis inti PKS masih berasal dari kelompok tarbiyah dan kaum muda terpelajar di lingkungan kampus. Namun beberapa waktu terakhir menunjukkan PKS melakukan perekrutan anggota dari luar kelompok di atas tetapi yang penting beragama Islam.

Tidak bisa dipungkiri memang keterbukaan PKS ini membuahkan hasil manis terhadap perolehan suara yang diraup PKS. Jika pada pemilu 2004 PKS meraih 8,20% suara dan berada pada posisi ke-16 dari 24 partai peserta pemilu, maka pada pemilu 2009 PKS mampu meraih 10,18% suara dan berada pada posisi ke-4 dari 38 partai peserta pemilu (Pamungkas 2011). Ini menunjukkan bahwa keterbukaan yang dilakukan oleh PKS juga mungkin untuk meraih suara sebanyak-banyaknya (vote-seeking). Sehingga PKS dapat dikategorikan atau dikatakan mirip dengan model partai catch-all.

B.PARTAI KARTEL

1.Asal-Usul dan Perkembangan Partai

Model partai terbaru terutama yang diklasifikasikan oleh Katz dan Mair (1995) yang juga hadir pada tahun 1950-an yaitu Cartel Party (partai kartel). Kartel biasanya dikenal dalam konsep ekonomi, ketika beberapa produsen bekerjasama dalam menjual barang dan jasa dengan harga dan jumlah yang telah ditentukan. Tujuan dari pembentukan kartel yaitu membatasi kompetisi tiap produsen serta menghambat masuknya produsen baru untuk bersaing di dalam pasar (Sundari).

Sementara Katz dan Mair (1995) mengatakan bahwa pada periode sekarang ini, partai politik dalam kaitannya antara masyarakat sipil dan negara telah muncul suatu model partai baru yaitu partai kartel. Yaitu ketika partai berkolusi menjadi agen dari negara dan menggunakan sumber daya-sumber daya negara (partai negara) untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap dapat eksis.

Lebih jauh, kehadiran model partai ini karena terjadinya krisis keuangan pada tubuh partai yang disebabkan oleh menghilangnya sumber pokok keuangan mereka dan menurunnya iuran yang berasal dari anggota. Sikap ketidakpedulian anggota ini disebabkan oleh semakin mapannya kehidupan mereka secara ekonomi sehingga sudah tidak begitu tertarik terhadap isu-isu ekonomi.

Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah tersebut partai membiayai diri dari subsidi finansial yang diberikan oleh negara. Dimulai dari negara-negara Skandinavia dan menyebar ke Eropa Barat dalam derajat perubahan yang bervariasi. Perubahan ini merombak hubungan antara partai dengan masyarakat dan negara. Jika sebelumnya partai merupakan bagian dari masyarakat, maka kini partai menjadi bagian dari negara dan jarak dengan masyarakat semakin jauh.

Munculnya partai kartel merupakan penggabungan partai parlemen dan aparatus negara (dan kelompok kepentingan). Pada dasarnya tipe partai ini bercirikan peleburan partai di jabatan publik dengan beberapa kelompok kepentingan yang membentuk kartel politik yang tujuannya mempertahankan kekuasaan eksekutif. Partai ini selanjutnya berbentuk organisasi profesional yang survivalitasnya sangat bergantung pada negara (Pamungkas 2011).

Kartel politik sendiri dapat diapahami dari dua arah menurut Koten dan Thomas (dikutip oleh Sundari), yaitu ranah partai dan ranah pemerintah. Di ranah partai yaitu selalu ada segelintir elit politik yang memegang kekuasaan semimutlak. Mereka umumnya merupakan pemilik modal atau pendiri partai. Sementara di ranah pemerintah yaitu umumnya dibaca dari perubahan konstelasi di tingkat elit, baik elit politik maupun elit penguasa yang masing-masing memiliki kekuasaan dan kekuatan secara ekonomi maupun politik.

2.Elektoral Sistem

Mengenai elektoral sistem terutama dimensi pemilih yang dianut partai kartel seperti yang dikatakan oleh Krouwel (dikutip oleh Pamungkas, 2011), bahwa kemunculan pemilih dan dukungan sosial yaitu “regular clientele” yang menyediakan pertukaran dukungan untuk kebijakan yang menguntungkan.  Yang berarti terjadi proses “jual beli” kebijakan yang dilakukan antara partai dengan pemilih. Lalu timbul pertanyaan jual beli yang bagaimana yang terjadi di dalam partai kartel?

Jual beli terjadi ketika misalnya dalam masa-masa menjelang pemilu atau pilkada. Partai kartel sangat berkepentingan meraih suara yang banyak demi menjaga eksistensi paratainya. Dalam hal ini partai akan mencari tahu kiranya hal-hal apa atau kebijakan apa yang diinginkan oleh kelompok tertentu. Setelah itu mereka akan menjual kebijakan tersebut dan dibeli oleh kelompok tertentu sebagai pemilih melalui suara dalam pemilu. Disinilah salah satu letak dari sifat kartel yang dimiliki oleh partai. Yaitu ketika terjadinya jual beli yang saling menguntungkan dan atas kesepakatan bersama.

Partai ini sebagaimana yang dikatakan oleh Wolinetz (dikutip oleh Pamungkas, 2011), yaitu berorientasi pada pencari-jabatan (office-seeking). Sehingga dalam perekrutan elit partai, rekrutmen terutama dilakukan dari dalam struktur negara (birokrasi). Partai ini berusaha mengambil pejabat-pejabat strategis negara untuk menjadi bagian dari partai. Hal ini dapat dipahami selain karena partai sangat bergantung pada negara, tetapi juga tujuan partai yang ingin mempertahankan kekuasaannya di eksekutif.

Sementara dalam hal basis kompetisi partai, partai hanya berkaitan dengan dengan isu teknis yakni isu-isu manajemen pemerintahan yang jauh dari ideologisasi (Katz dan Mair, 1995). Yang terjadi justru basis kompetisi partai dengan partai lain yaitu perawan kekuasaan yang tumbuh dari pembagian jabatan eksekutif dan dukungan kekuasaan (negara) menjadi pilar utama dari basis kompetisi partai. Hal ini sejalan dengan ciri-ciri partai kartel yang disampaikan oleh Ambardi, salah satunya yaitu hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi antarpartai (Sundari).

Program partai dalam partai kartel ini akan semakin mirip antara satu partai dengan partai lainnya. Yang pada akhirnya akan nampak bahwa partai akan semakin kurang melakukan program partai dalam pengertian tradisionalnya. Ketika partai tidak akan ditemui lagi narasi ideologi yang memberikan identitas kolektif terhadap partai, pendukungnya dan ketika memerintah (Sudargo 2008).

Selain itu dalam pandangan Krouwel (dikutip oleh Pamungkas, 2011), perluasan kompetisi partai dilakukan dengan penyebaran ketidaksesuaian politik. Ketika sebuah isu dijadikan permainan untuk memperluas kekuasaan. Partai kartel yang berafiliasi dengan negara secara mudah dapat mempermainkan isu-isu di depan publik dan membentuk opini publik. Perilaku ini merupakan salah satu cara untuk merawat kekuasaan partai di jabatan eksekutif (negara).

Terbentuknya partai kartel ini memberikan pengaruh pada pemilu seperti yang disampaikan oleh Katz dan Mair (1995). Karena menang atau kalah dalam pemilihan hanya membuat sedikit perbedaan pada tujuan politik partai sebab tidak adanya pertarungan besar pada aspek kebijakan. Tetapi dapat dibuat perjanjian yang baik berkaitan dengan survival partai ketika sumber dayanya banyak berasal dari negara.

3.Pengorganisasian Partai

Untuk pengorganisasian partai, partai menjadi semakin sedikit membutuhkan anggota. Pada saat yang bersamaan biaya politik semakin tinggi dan berkorelasi dengan pandangan bahwa anggota partai hanya sedikit relevan dalam usaha memenangkan pemilihan (Katz dan Mair, 1995). Sehingga semakin ke sini, peran anggota secara umum di dalam tubuh partai semakin terpinggirkan oleh pelbagai macam faktor.

Selanjutnya diikuti oleh cara-cara partai dalam memenangi pemilihan yang bergeser dari partisipasi massa atau anggota ke marketing media. Kelompok-kelompok perkumpulan atau perserikatan menjadi semakin kurang berharga dibandingkan dengan masuknya surat kabat, tayangan di televisi dan donasi-donasi besar. Sehingga partai kartel menjadi sangat dekat pula dengan media dan memanfaatkannya dengan baik.

Namun karena rekrutmen elit partai berdasarkan pada perekrutan elit negara (birokrasi). Maka di sisi yang lain anggota menjadi sumber rekrutmen personal politik. Dalam artian keanggotaan partai biasanya mengandalkan pada sosok personal anggota sebagai figur birokrat yang dikenal cukup baik oleh publik. Sama halnya dengan kartel di dunia ekonomi, kartel politik juga bertujuan untuk membatasi kompetisi antarpartai bahkan menghambat kemunculan partai baru.

Hubungan partai di kantor pusat dengan partai di ranah publik bersifat simbiosis (Pamungkas 2011). Yaitu partai di kedua tempat ini saling membutuhkan dan berinteraksi satu sama lain. Selain itu, konsentrasi kekuasaan terdapat pada kepemimpinan partai di parlemen dan partai di pemerintahan. Karena orientasi partai pada office-seeking maka debat internal tentang kebijakan partai terbatas, kalaupun ada kurang fokus dan terbatas pada pimpinan partai atau komite kebijakan.

4.Kontekstualisasinya di Indonesia

Sama halnya dengan pertanyaan pada partai catch-all sebelumnya, pertanyaan sekaligus poin penting dari partai kartel yaitu bagaimana kontekstualisasinya di Indonesia, ada dan tidakkah partai kartel di Indonesia? Jawaban pertamanya sama, bahwa untuk mengidentifikasi hal tersebut di Indonesia cukup sulit. Karena sifat kebanyakan partai di Indonesia yang malu-malu untuk mengklaim dirinya masuk dalam model paratai yang mana.

Sebelum itu, ada baiknya kita melihat proses kartelisasi partai di Indonesia yang disampaikan oleh Sundari. Bahwa berawal dari reformasi, kabinet pemerintahan yang dibentuk selalu mengakomodasi partai-partai lain di luar partai penguasa. Hal ini disebabkan semakin besarnya kekuasaan parlemen, sehingga partai pemerintah berinisiatif untuk merangkul partai-partai di parlemen (koalisi).

Sayangnya koalisi yag terjadi tidak berdasarkan pada perjuangan ideologi partai dan membangun kesejahteraan rakyat. Sehingga koalisi lebih bersifat transaksional, ketika partai-partai koalisi akan mendapatkan jatah posisi di kabinet (eksekutif) dan sebagai gantinya partai-partai tersebut akan mendukung setiap kebijakan pemerintah. Atau dalam bahasa Indrayana (2011), koalisi tersebut disebut dengan koalisi pragmatis (exclusive coalition) yaitu koalisi yang terbentuk karena alasan-alasan pragmatis semata. Dan tidak ada ikatan strategis apalagi ideologis.

Sementara bentuk kartel politik di Indonesia saat ini menurut Lukmantoro (2010), yaitu Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai pendukung SBY-Boediono meliputi Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB. Dikatakan sebagai kartelisasi partai politik karena Setgab dengan jumlah 6 partai yang sangat besar, dianggap dapat menghambat kompetisi antarpartai karena mayoritas partai bergabung dalam Setgab. Bahkan dapat menghambat kemunculan partai baru. Selain karena pada beberapa waktu Setgab Koalisi selalu satu suara dalam mendukung setiap kebijakan pemerintah. Sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan “partisipasi yang lebih besar dengan persaingan yang lebih sedikit”.

Namun Lukmantoro dalam tulisannya juga masih tampak ragu apakah Setgab dapat dikatakan sebagai kartel politik atau tidak. Sebab pada faktanya Setgab seringkali lebih menjadi kartel yang berfungsi sebagai forum tukar-menukar hadiah politik belaka. Selain karena hilangnya ikatan ideologis antarpartai seperti yang dikatakan oleh Sundari dan Indrayana di atas.

Sementara penulis sendiri beranggapan bahwa sekarang Partai Demokrat (PD)-lah yang mirip dengan model partai kartel terutama dilihat dari kedekatannya dengan negara. PD yang menjadi partai pemerintah setidaknya dalam waktu delapan (8) tahun terakhir dapat dikatakan berorientasi pada office-seeking untuk mempertahankan kekuasaannya di ranah eksekutif baik di tingkat pusat sampai daerah.

Hal ini terlihat dari kemenangan PD dalam pilpres maupun pilkada yang cukup besar (dominan) walaupun tidak menjadi partai mayoritas. Kedekatan PD dengan aparatus negara (pemerintah) sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, apalagi posisi Ketua Dewan Pembina PD (SBY) sebagai Presiden RI dan wakilnya (Marzuki Ali) sebagai Ketua DPR RI. Selain itu PD terutama di daerah seringkali melakukan perekrutan elit berdasarkan pada personal anggota terutama atas ketokohan dan popularitas figur.

Namun persis dengan PKS yang mirip dengan partai catch-all, PD tidak dapat dikatakan sepenuhnya sebagai partai kartel. Karena seperti yang dikatakan Ambardi (2011), bahwa untuk konteks Indonesia, sumber kartelisasi perlu dibahas secara spesifik. Kenyataannya subsidi pemerintah (sebagai salah satu indikator kartel politik) yang bersifat legal kelewat kecil sehingga kita dapat mengabaikan faktor ini sebagai penjelas utama atas kemunculan kartel politik di Indonesia. Tesis kartelisasi dengan demikian bisa saja rontok jika salah satu elemen yang menjadi ciri kartel tidak terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Ambardi, Dodi, 2011, Meninjau Ulang Konsep dan Gejala Kartelisasi Partai di Indonesia, pada diskusi “Melawan Politik Kartel” , Jakarta, 27 Oktober 2011.

Indrayana, Denny, 2011, Indonesia Optimis, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Kaitz, Richard S. dan Peter Mair, 1995, Changing Models of Party Organization and Party Democracy the Emergence of the Cartel Party, London: Journal of Party Politics Vol. 1 No. 1 pp. 5 – 28.

Lukmantoro, Triyono, 2010, Tergelitik Kartel Partai Politik, majalah Wawasan edisi 15 Juni 2010.

Sudargo, Greg, 2008, Partai, Kita dan Demokrasi Oligarki, buletin Praksis, Edisi No. 15 Th. III, September – Oktober 2008.

Sundari, Eva, Politik Kartel, Pelemahan Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat, pada diskusi publik “Melawan Kartel Politik”, Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline