Lihat ke Halaman Asli

Analisis TPS Mahasiswa

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14020603441169045952

[caption id="attachment_340870" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Tulisan ini boleh dibilang sebagai laporan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis. Observasi dilakukan penulis sebagai bagian dari Sahabat Pengawas Pemilu (Satwaslu) yang dibentuk oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM). Satwaslu sendiri merupakan bagian dari Tim Relawan Pengawas Pemilu yang tergabung dalam Gerakan Sejuta Pengawas Pemilu di bawah koordinasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Keterlibatan penulis sebagai relawan pengawas pemilu berawal dari aktivitas penulis sebagai aktivis BEM KM UGM yang mengawal isu pemilu ini sejak awal tahun 2014. Khususnya, penulis dan BEM KM UGM sendiri fokus pada pengawalan isu Tempat Pemungutan Suara untuk mahasiswa UGM yang selanjutnya disebut dengan TPS Mahasiswa. Untuk diketahui, TPS Mahasiswa di Sleman berjumlah sembilan buah terdiri dari enam TPS untuk mahasiswa UGM dan enam TPS untuk mahasiswa UNY. Dalam penyelenggaraan pemungutan suara 9 April kemarin, penulis mendapat tugas untuk mengawasi TPS 117 Caturtunggal yang merupakan TPS Mahasiswa UGM.

Anomali Tempat Pemungutan Suara

Membicarakan TPS menjadi salah satu poin penting dalam pemungutan suara. TPS yang dimaksud bukan bentuk secara fisik, tetapi bagaimana TPS tersebut dikelola dan dijalankan oleh petugas Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang notabene menjadi ujung tombak dalam proses pemungutan suara. Pelaksanaan pemungutan suara secara rinci telah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu.

Secara umum, peraturan-peraturan yang disebutkan dalam PKPU tersebut telah dipenuhi oleh petugas KPPS TPS 117 Caturtunggal. Seperti, ditempelnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Calon Tetap (DCT) di depan TPS. Tidak adanya alat peraga partai politik (parpol) maupun perseorangan sebagai peserta pemilu. Serta penandatangan bersama berita acara pemungutan suara oleh petugas KPPS dengan saksi-saksi dari tiap-tiap parpol. Kecuali, TPS dibuka pada pukul 07.10 yang seharusnya dibuka pada pukul 07.00 WIB.

Selain itu, dari 12 parpol peserta pemilu yang mengirimkan saksi hanya empat parpol yaitu Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kehadiran saksi yang tidak sampai setengah dari jumlah yang seharusnya menjadi anomaly pertama yang menjadi amatan penulis di TPS 117. Meskipun, tentu alasan utama dari parpol untuk tidak menghadirkan saksinya yaitu masalah pembiayaan atau honorarium bagi saksi.

Anomali kedua dan yang paling penting bagi penulis yaitu ketika selepas pukul 12.00. Karena, menurut buku panduan yang dipegang oleh petugas KPPS menyebutkan bahwa selepas pukul tersebut baru diperbolehkan bagi pemilih tambahan untuk menggunakan hak pilihnya. Meskipun, sebenarnya dalam PKPU 26/2013 disebutkan bahwa pemilih tambahan boleh menggunakan hak pilihnya sejak TPS dibuka dari pukul 07.00 sekalipun. Sebelumnya, perlu kiranya penulis menjelaskan sedikit mengenai pemilih tambahan itu.

Pemilih tambahan yaitu mereka yang tercatat sebagai pemilih tambahan yang melakukan mutasi tempat pemilihan dari daerah asal ke daerah domisili. Pemilih tambahan ini disebut dengan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang tidak terdaftar sebagai DPT dan tidak memiliki Formulir C6 (undangan memilih dari KPPS). Dari pengawalan penulis bersama BEM KM UGM tentang TPS Mahasiswa ini didapatkan bahwa jumlah DPT Mahasiswa UGM berjumlah 2.404 pemilih. Mereka merupakan mahasiswa yang terdaftar melalui prosedur pengisian Formulir A1 (DPT).

Sementara itu, untuk dapat menjadi DPTb, setidak-tidaknya dapat melalui tiga jalur yaitu jalur pengisian Formulir A5 (pernyataan mutasi tempat pemilihan), jalur penggunaan kartu keterangan domisili yang didapat dari padukuhan setempat dengan sepengetahuan PPS, serta jalur penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi pemilih setempat. Lalu, di mana anomali atau keanehan itu terjadi? Pertama, masalah penggunaan KTP. Di TPS 117 yang penulis observasi, penggunaan KTP hanya boleh dilakukan oleh warga setempat atau yang ber-KTP Karangmalang serta selepas pukul 12.00 sesuai dengan PKPU 26/2013. Namun, dari pengakuan rekan penulis yang bertugas di TPS lain seperti 116 dan 79 justru sebaliknya.

Untuk TPS 116 dan 79 juga menjadi TPS Mahasiswa, petugas KPPS memperbolehkan penggunaan KTP dari daerah asal (luar) bahkan sejak TPS dibuka pukul 07.00. Akibatnya, setidak-tidaknya pada dua TPS ini mengalami pembludakan pemilih yang tentu sebagian besar dari mereka yang masuk dalam DPTb. Keadaan ini kontras dengan TPS 117 yang penulis observasi, di TPS ini dari 308 surat suara (302 DPT ditambah enam surat suara cadangan). Hanya terpakai sejumlah 169 surat suara, itupun 55 suara di antaranya berasal dari suara DPTb. Artinya, hanya sekitar 45% DPT (mahasiswa) yang menggunakan hak suaranya.

Angka partisipasi yang tidak tinggi ini menjadi ironi tersendiri bagi penulis. Sebab, dari apa yang penulis lihat menunjukkan bahwa sangat banyak sebenarnya mahasiswa yang ingin memilih di TPS tersebut. Tetapi, karena dibenturkan pada peraturan terkait jalur penggunaan DPTb di atas, harapan mereka semua kandas dan tak terpenuhi. Padahal, setidaknya ada 139 suara yang tak terpakai, kondisi ini menjadi anomali penting bagi penulis.

Kemenangan Partai Dakwah

Tentu saja, yang paling menarik dari seluruh proses pemilu yaitu hasil penghitungan suara atau pemenang pemilu. Begitu pula dengan TPS 117 (Mahasiswa), yang paling menarik yaitu partai mana yang keluar sebagai pemenang dan berhasil meyakinkan kelompok terdidik sekelas mahasiswa UGM. Maka, partai pemenang tiga besar untuk TPS 117 berturut-turut dari urutan pertama yaitu PKS, PDI-P dan Gerindra. PKS berhasil meraup 313 suara atau sekitar 60% dari 507 total suara DPR/D Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kemenangan mutlak PKS ini–karena merata di lima TPS Mahasiswa UGM lainnya–menarik untuk diperbincangkan.

Kemenangan PKS atas TPS Mahasiswa ini seakan menjungkirbalikkan pikiran sebagian kalangan. Sebab, bagaimana mungkin partai yang tengah diterpa badai hebat akibat skandal korupsi dan main wanita oleh pucuk pimpinannya ini justru mampu bertahan dan menguasai kaum terdidik mahasiswa UGM. Bahkan, secara nasional dari hasil hitung cepat yang dilakukan Kompas sehari setelah pemungutan suara berlangsung. Menunjukkan bahwa PKS meraup suara tidak kurang dari 7% dan tidak jauh berbeda dari perolehan suaranya pada Pemilu 2004.

Namun, jika diperhatikan secara saksama dan teliti lagi. Kemenangan partai dakwah ini jelas merupakan hasil kerja mesin partai dan sistem kaderisasi yang luar biasa baiknya–suka atau tidak harus diakui demikian. Dengan basis massa tetap yaitu kelompok tarbiyah, partai ini mampu mempertahankan eksistensinya. Sebagai sebuah partai massa, seperti yang digambarkan oleh Krouwel, partai ini dapat mempertahankan ideologi atau nilai yang diyakini serta pada saat bersamaan mampu menjaga loyalitas dan kesukarelaan anggota atas dari hasil sebuah percampuran kaderisasi dan keyakinan atas kesamaan ideologi itu sendiri.

Mahasiswa bagi PKS boleh dibilang merupakan salah satu lumbung suara yang menjanjikan dan cukup loyal. Banyak kader partai ini berasal dari mahasiswa (kaum terdidik) terutama mahasiswa aktivis dakwah dan lembaga kemahasiswaan lain seperti BEM dan Senat (Mujani dkk, 2012). Keadaan itu juga tampak nyata terjadi di kalangan mahasiswa UGM, loyalitas dan militansi mahasiswa aktivis dakwah ini sudah tidak diragukan lagi atas patronase politiknya yang berkiblat pada PKS.

Lebih jauh lagi, banyak aktivis dakwah (tarbiyah) ini yang tergabung dalam gerakan mahasiswa Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Kedekatan kultural dan emosional antara KAMMI dan PKS jelas tak terelakkan lagi. Karena, hampir semua bacaan wajib dan sistem kaderisasi kedua organisasi ini sama. Meskipun, KAMMI tidak pernah mengakui dirinya tidak memiliki hubungan structural dengan PKS. Tetapi, sudah menjadi persepsi umum dan pengetahuan nyata bahwa KAMMI merupakan onderbouw PKS (Rathomy 2007).

Sistem kaderisasi melalui halakah dan liqa menjadi bagian penting untuk proses perekrutan simpatisan, doktrinasi sampai dipilih sebagai kader. Proses pengorganisasian yang rapih macam ini merupakan bentuk nyata dari studi organisasi partai sebagai model penargetan pemilih seperti yang diajukan oleh Rohrschneider (2002). Dengan bersandar pada ideologi dan nilai yang mereka yakini sepenuh hati. Beserta dengan proses kaderisasi yang begitu canggih dan mapan terutama di kalangan aktivis (dakwah) kampus. Membuat partai ini mampu mengukuhkan dirinya sebagai partai yang menguasai kaum terdidik (mahasiswa).

Dari uraian di atas, dapat dipetik pelajaran bahwa di tengah menguatnya liberalisasi politik yang berujung pada meningkatnya politik figure dibanding politik atau perdebatan ideologi. Ternyata, masih ada partai yang menyandarkan sebagian besar dirinya pada keyakinan bersama atas sebuah ideologi dan nilai serta kaderisasi yang tak kunjung padam. Model partai massa macam PKS ini, menarik untuk dipelajari bukan hanya oleh penulis sebagai seorang peneliti. Tetapi juga termasuk partai-partai lain yang mulai kehilangan kepercayaan pada dirinya masing-masing akibat ketidakmampuan mempercayai ideology dan nilai yang diusungnya sendiri. Ditambah pula merosotnya sistem kaderisasi internal partai yang digantikan oleh kaderisasi instan berdasarkan popularitas dan materialistis semata.

Referensi:

Mujani, Saiful, dkk, 2012, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Mizan.

Pamungkas, Sigit, 2012, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism.

Rathomy, Arief Ihsan, 2007, PKS & HTI: Genealogi & Pemikiran Demokrasi, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.

Rohrschneider, Robert, 2002, Mobilizing versus chasing: how do party target voters in elections campaign? Electoral Studies, pp 367-382.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline