Lihat ke Halaman Asli

Eka Yudha Lantang

Dokter Spesialis Anestesiologi

Sevel Tutup: Hilangnya Tempat Nongkrong Kita?

Diperbarui: 30 Juni 2017   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Terhitung tanggal 30 ini, seluruh gerai Seven Eleven di Indonesia (baca : di Jakarta) secara resmi ditutup. Bagi (sebagian anak nongkrong) di Jakarta mungkin kehilangan satu tempat nongkrong atau pun rendezvous yang bisa dikatakan murah meriah. Seperti diketahui sejak beroperasinya Sevel sekitar tahun 2008, ritel ini menyasar pangsa pasar kelompok yang didominasi anak muda yang nota bene tak banyak belanja, tapi memanfaatkan fasilitas nongkrong di Sevel tanpa ada batasan waktu.

Bagi saya pribadi, Sevel merupakan bagian dari nostalgia sewaktu mengecap pendidikan spesialisasi Anestesiologi di FKUI. Kenangan yang menonjol pertama adalah saat stase di luar RSUPN Cipto Mangunkusumo yang adalah rumah sakit pendidikan utama.  Bagi residen yang menggunakan sepeda motor untuk mobilitas, Sevel adalah destinasi yang masuk akal jika hujan turun, salah satu tempat ideal untuk nongkrong sejenak. Sambil ditemani Big Bite atau Tuna Sandwich dan menyeruput  Black Tea atau Cinnamon Tea, membaca e-book Morgan (ciee... baca nih ye) menjadi tambah asyik...

Kenangan kedua adalah saat jonggol (post chief), selain perpustakaan bagian, "sanctuary place" yang paling ideal adalah Sevel seberang FKUI, sambil menenggak Gulp atau Slurpee regular untuk mendinginkan otak yang panas dijejali serangkaian teori untuk ujian akhir.

Lepas dari cap sebagian orang, bahwa Sevel adalah tempat nongrong anak ababil atau tempat jualan minuman beralkohol (Cat : ritel ini berhenti menjual minuman beralkohol setelah tanggal 16 April 2015, sebagai tindak lanjut implementasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minumal Beralkohol), konsep yang ditawarkan oleh Sevel yaitu memadukan convinience store dan restoran ini, memiliki tempat pada sejumlah kalangan di Jakarta, termasuk saya.

Mungkin ini karena minimnya ruang publik di Jakarta yang bisa dinikmati oleh kalangan dengan "low to medium budget". Selain itu juga konsep ini memiliki keuntungan berupa aksesibilitas yang mudah. Dalam tataran masa yang lebih lampau, mungkin mirip dengan warteg atau kedai kopi, di mana unsur nongkrong atau dengan kata lain sosialisasi adalah faktor yang lebih atau sama pentingnya dengan berbelanja / makan - minum.

Semoga dengan tergerusnya Sevel dari belantara ibukota,  warga Jakarta masih memiliki tempat nongkrong alternatif yang jauh lebih baik, dimiliki oleh anak negeri dan menjual lebih banyak produk dengan khazanah Nusantara.

Sementara itu, ijinkan saya mengucapkan selamat tinggal Big Bite, dan Slurpee, sampai jumpa lagi di seberang negeri....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline