Lihat ke Halaman Asli

Eka Yudha Lantang

Dokter Spesialis Anestesiologi

Pilkada (DKI) 2017 dan "Logical Fallacy"

Diperbarui: 28 Juni 2017   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Status linimasa 15 Februari 2017 tak pelak lagi, pasti dipenuhi dengan postingan atau cuitan terkait dengan Pilkada 2017 dengan Pilkada DKI menjadi man of the match, primadona, serta bintang utama dari "trending topics" hari ini.Dari sejumlah status rekan virtual, ada hal yang menarik perhatian saya, sebuah status menyebutkan, "Jakarta yang memilih, justru yang lain, (baca : sebagian warga non Jakarta) yang panas." Sementara ada status warga non Jakarta menjustifikasi ketertarikan mereka terhadap dengan isu ini, dengan argumen bahwa Jakarta adalah ibukota negara dan otomatis menjadi milik bersama warga negara Indonesia, sehingga mereka juga memiliki hak yang sama untuk berkomentar tentang Jakarta.Sebelum beranjak menguji "validitas ide" tersebut di atas, kita perlu mensyukuri satu hal terkait momentum Pilkada (DKI Jakarta) saat ini, yaitu "political awareness" di kalangan penduduk Indonesia (baca : netizen) sudah semakin membaik. Meskipun (mungkin), kita tidak punya data pendukung, namun kita bisa mengasumsikan bahwa banyak netizen sudah menyadari bahwa peran mereka dalam politik memang sangat diperlukan. Banyak yang menyadari bahwa arah kemajuan suatu bangsa bergantung dari pilihan dan partisipasi politik warganya. Ini sangat baik bagi demokrasi Indonesia.Menelisik lanjut tentang "political awareness", ada beberapa kategori kelompok masyarakat, pertama adalah (1) “illiterate” (kelompok yang abai terhadap politik), (2) “misinformed” (kelompok yang lekat dengan persona atau kelompok tertentu),(3) “general” (kelompok yang melek politik, memberikan pilihan yang rasional),(4) “activist” (kelompok yang secara aktif terlibat dalam hal-hal politik) serta terakhir adalah (5) “expert” (kelompok orang yang telah menjadi refrensi berita politik, menulis buku tentang politik, dll). Namun yang menarik perhatian saya dalam tulisan itu, terkait dengan deskripsi dari kategori kedua dan ketiga, karena inilah yang dapat dianggap merepresentasikan kebanyakan level “political awareness” dari netizen Nusantara. Dalam kategori ketiga, seseorang mengenal individu-individu yang terkait dalam jabatan tertentu, termotivasi atas satu atau dua isu serta berkecenderungan memilih kandidat berdasarkan performanya dibanding dengan afiliasi politiknya. Tipe orang seperti ini selalu berperan aktif dalam setiap pemilihan umum. Pada kategori kedua, orangnya terikat dengan suatu paham tertentu, ikatan emosianal tertentu atau daya tarik personal (karisma) dari seseorang. Karakteristik orang dalam kategori ini adalah sangat dogmatik dan senantiasa kehilangan objektivitas dalam suatu isu, sangat vokal dan nyaring dalam berbagai wadah. Menariknya kelompok orang ini, mempersepsikan atau bahkan memklaim dirinya sebagai pemilih (voter) padahal (dengan alasan apapun) ia tidak memilih. Dengan mengenali level “political awareness” seseorang akan memudahkan kita melakukan interaksi dengan dirinya termasuk dalam interaksi di dunia maya. Dan penting untuk melakukan justifikasi terhadap dua pendapat di atas.  Baik, kita kembali untuk mencoba menguji "validitas argumen" terkait keterlibatan non warga Jakarta dalam dinamika politik Jakarta. Kita menguji argumen warga non Jakarta yang berpandangan bahwa Jakarta adalah ibukota negara sehingga saya berhak berkontribusi atau berkomentar apapun terhadap Jakarta."Pertama-tama kita urai dulu premis dan konklusinya. Premis pertama, "Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia.", Premis kedua adalah : "Saya adalah warga negara Indonesia" . Konklusi, "Saya berhak untuk berkomentar atas Jakarta". Bentuk parafrase dari premis dan konklusi di atas adalah : Premis pertama adalah “Masalah Jakarta adalah masalah Indonesia”. Premis kedua adalah saya warga negara Indonesia. Konklusinya menjadi "Masalah Jakarta adalah masalah saya juga". Sekilas, pada konklusi akan terlihat hal yang mulia. Namun di sini, pada premis-konklusi pertama, kesimpulan dibangun atas pada dua premis yang sebenarnya tidak berhubungan, sehingga jelas dapat dicurigai di sini adanya formal fallacy. Formal fallacy, tidak memperhitungkan apakah argumennya benar atau tidak, yang diperhitungkan adalah struktur penalarannya yang salah. Jadi jelas, argumen tersebut di atas tidak dapat dipakai sebagai alat justifikasi. Kita pindah pada premis-konklusi kedua, yang telah diparafrasekan, walaupun argumentasi dapat diasumsikan bebas fallacy, tetap saja ada potensi masalah empirik pada ide ini, antara lain :

  • Bila pengusung ide ini berkomentar tentang Jakarta (diasumsikan bahwa ini adalah wujud kontribusi dan partisipasi postif bagi kemajuan Jakarta), kenapa komentar (kontribusi) hanya ditujukan pada isu Pilkada Jakarta saja. Masih banyak masalah Jakarta, bukan sekedar Pilkada dan konsekuensinya, yang menjadi beban pemerintah dan warga Jakarta. Sikap ini tentunya sarat dengan inkonsistensi, tetapi mengapa bisa terjadi demikian, hipotesisnya adalah karena memang pengusung ide ini biasanya secara tradisional tidak terikat dengan Jakarta, maka ide tentang Jakarta biasanya bersifat skotoma (sesuatu yang hanya ingin ia lihat/bahas), hanyalah hal-hal yang memiliki personal adherence yang terkait dirinya yang mendominasi pengetahuannya. Misalnya, kandidat memiliki kesamaan identitas dengan dirinya, atau menolak kandidat tertentu karena ia memiliki nilai yang berbeda dengan diri sang pengusung ide. Dengan adanya skotoma, maka komentar tentang suatu ide atau masalah lain, hanya akan bersifat parsial, sedangkan ide dan fakta yang lain menjadi kurang penting untuk dimunculkan. Berdebat dengan pengusung ide ini, ibarat upaya untuk menggantang angin, suatu upaya yang sia-sia.
  • Potensi masalah inkonsistensi kedua terhadap pengusung ide ini adalah bila kerangka komentar yang hendak dibangun adalah “political awareness” dalam bingkai ke-Indonesia-an, mengapa titik berat hanya pada Jakarta, tidak pada daerah yang lain. Apakah Pilkada di Papua Barat, Banten,dan lain-lain tidak lebih penting? Atau bila ditarik lebih lama lagi, kenapa Pilkada Surabaya tidak semenarik ini bagi diri pengusung ide ini ? Hipotesisnya adalah Pilkada di tempat lain, tentunya tidak memiliki personal adherence bagi sang pengusung ide atau setidaknya kurang menarik untuk menggaet jempol dalam linimasa miliknya. Tidak bisa dipungkiri, salah satu penggaet terbesar dalam linimasa akhir-akhir ini di dunia maya adalah segala sesuatu yang mendukung sang kandidat tertentu atau menolak mentah-mentah eksistensinya.
  • Inkonsistensi ketiga muncul saat pengusung ide ini merasionalisasikan ide ini dengan adagium postmodernisme yang terkenal dalam media sosial, yaitu : "Ini adalah akun media sosial saya, jangan "ikut campur" apa yang saya tulis." Pada faktanya, ia sedang mengomentari sesuatu hal yang bisa dibilang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan dirinya secara pribadi.Adanya potensi logical fallacy dan kendala inkonsistensi empirik inilah, membuat pengusung ide ini akhirnya membingkai dirinya pada kelompok kategori "misinformed" dan melepaskan dirinya dari potret seorang "general". Dengan demikian, sulit untuk menemukan motif yang murni memihak pada kebangsaan pada pengusung ide ini. Mereka perlu berupaya keras untuk membuktikan bahwa Pilkada DKI adalah bukan tentang personal adherence-nya, alih-alih berkontribusi bagi kepentingan Jakarta atau kepentingan nasional.

Di pihak lain, menjadi pertanyaan, "Apakah warga non Jakarta tidak boleh berkomentar tentang dinamika politik Jakarta ?" Bila jawabannya ya, saya menjamin kita akan jatuh pada fallacy lain yang lebih buruk dari logical fallacy. Mengapa? Karena membatasinya justru akan mencederai aksioma dan tataran kebenaran yang menjadi kesepakatan bersama.

  • Aksioma pertama : Jakarta adalah milik bersama warga negara Indonesia, apapun yang terjadi pada Jakarta akan berdampak pada kita. Dengan demikian, kita (warga Jakarta dan non Jakarta) harus berkontribusi nyata untuk menjaga stabilitas Jakarta. Menyangkali fakta ini berarti menyangkali eksistensi diri kita sebagai warga negara Indonesia yang adalah negara kesatuan sekaligus menyangkali eksistensi ide partisipasi warga dalam politik.
  • Aksioma kedua : Salah satu alasan kehadiran media sosial ada karena sebagai "langkah korektif terhadap keangkuhan budaya formalisme, berbelitnya birokratisasi dan jauhnya jarak penguasa dan rakyat. Media sosial juga menembus sekat-sekat ruang, waktu serta kultur. Bagaimana mungkin kita membatasi jari netizen untuk memiliki kontribusi dalam dunia maya. Menyangkali eksistensi media sosial dan konsekuensinya sama artinya menyangkali eksistensi diri kita sendiri dalam dunia modern.


 Masalah sebenarnya harus diletakkan pada apakah status, komentar, cuitan yang diberikan oleh warga non Jakarta (dan pastinya juga warga Jakarta sendiri) memberikan kontribusi positif terhadap stabilitas ibu kota, memberikan langkah korektif konstruktif bagi tatanan masyarakat Jakarta serta merubuhkan sekat-sekat yang ada? Tak dapat disangkal bahwa justru begitu banyak status yang beredar memberikan kontribusi yang signifikan pada polarisasi - sesuatu yang harusnya hanya bersifat sementara pada warga Jakarta selama di bilik pencoblosan- menjadi luas secara nasional dan eksis dalam jangka waktu yang lama. Kita tidak bisa menyangkal bahwa telah terjadi potensi rekonstruksi euforia yang penuh kebencian masa Pilpres 2014, yang terus menerus menggerogoti kebhinekaan dan menyuburkan ancaman disintegrasi bagi bangsa.Saat kita tidak lagi imparsial, kita harus jujur, bahwa sekeras apapun upaya kita untuk memberikan cuitan yang adem, tetap akan memiliki dampak yang tidak kita harapkan. Seperti pendapat seorang sejawat yang adalah dosen, segala sesuatu akan menjadi politis bila kita sudah menjadi partisan. Sikap partisan akan mengikis objektivas, akan selalu ada penilaian "ad hominem" terhadap laku dari pihak yang dianggap berseberangan. Kata-kata yang harusnya bebas asosiasi, seperti mantan, pepo, penista, omdo berbalik menjadi senjata pamungkas untuk menyakiti pihak lain kalau tidak menjadi bahan olokan. Dalam ilmu kedokteran, ada istilah primum non nocere, jangan melakukan sesuatu yang justru membahayakan kehidupan pasien. Dengan kata lain, dokter diminta melakukan sesuatu hanya jika manfaatnya lebih banyak dari mudaratnya. Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa setiap komentar, status atas cuitan, terkait dinamika politik Jakarta, dalam kondisi saat ini, berpotensi mendapatkan labelisasi yang menyesatkan. Untuk itu kita harus melakukan pertanyaan reflektif, apakah cuitan kita akan berdampak manfaat atau mudarat bagi audiens kita. Sama seperti prinsip primum non nocere, bila banyak manfaat lakukan, bila banyak mudarat jangan lakukan, bila ragu akan hasilnya, jangan juga pernah lakukan.Dalam konteks partisipasi di media sosial terkait dinamika politik Jakarta, membatasi diri memberikan komentar, mungkin bisa menjadi alternatif untuk melakukan primum non nocere. Sebenarnya ada satu istilah yang di media sosial yang bisa membantu menjembatani hal ini, yaitu "Boleh komentar asal jangan nyinyir". Namun, masih banyak yang belum mampu membedakan nyinyir dan sekedar berkomentar. Menurut KBBI, nyinyir berarti mengulang-ulang perintah atau permintaan, nyenyeh; cerewet. Dalam terminologi media sosial, nyinyir banyak disematkan pada kebiasaan memposting sesuatu ide yang terus menerus, pandangan atau bantahan terhadap sanggahan yang mendebat ide itu, kesimpulan yang diberikan bersifat ad hominem atau serangan terhadap pribadi (sebuah "logical fallacy" yang jamak dalam diskusi di ranah media social Indonesia). Maksud dari pengulangan ini adalah menciptakan "logical fallacy" lain yang disebut argumentum ad nauseam atau argumen didasarkan pada seringnya suatu pernyataan didengar (pengulangan), dengan maksud kepercayaan masyarakat muncul karena pengulangan-pengulangan informasi tertentu. Dalam nyinyir juga terkandung "logical fallacy" yang lain yaitu "poisoning the well" atau meracuni sumur adalah istilah untuk kesesatan berpikir dengan bentuk jika pernyataan P menjatuhkan x maka semua perkataan x salah. Biasanya argumen ini dikatakan kepada banyak orang, agar mereka punya asumsi negatif terhadap orang/kelompok tertentu.
 Jika kita hendak berkomentar dalam dinamika politik Jakarta maka diharapkan kita mampu berargumen dengan baik dengan menghindari logical fallacy. Jangan sampai banyak orang yang terbuai dengan kata-kata indah yang kita dilontarkan namun dibaliknya terdapat kesesatan logika. Di pihak lain, tidak kiritis membuat kita rentan ditipu oleh mereka yang pandai bermain bahasa.
 Jadi, jika anda bukan warga Jakarta (dan pastinya juga bagi warga Jakarta) dan ingin berkomentar di media sosial tentang dinamika politik Jakarta, silahkan saja keles, asal jangan nyinyir, jangan memanaskan suasana. Jakarta yang lebih baik pasti akan membawa warga lain wilayah mendapatkan imbas kebaikan, tetapi pengalaman membuktikan bahwa kekacauan di Jakarta terutama memberi beban besar bagi warga Jakarta bukan warga yang lain. Kalau anda tidak suka nyinyir tentunya anda akan nyaman dengan tulisan ini. Akhir kata, biarkan kami warga, menikmati pesta demokrasi yang disuguhkan bagi kami dengan adem. Masih ada putaran kedua dalam Pilkada DKI, mari kita nikmati, kita jalani dan kita komentari tanpa ada kesesatan berpikir dalam argumentasi.

Selesai ini, kita masih berteman kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline