Lihat ke Halaman Asli

Bercermin Pada Kebebasan Summerhill

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Judul Buku: Summerhill School, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan Penulis: AS Neill Penerjemah: Agung Prihantoro Penerbit: Serambi, Jakarta, Juni 2007 Tebal: 356 halaman "Nenek ingin saya memperoleh pendidikan, karenanya ia tidak mengizinkan saya sekolah." (Margaret Mead) Mungkin kalimat di atas jualah sebenarnya unspoken words dari para orangtua yang memilih opsi homeschooling-kini mulai ngetrend di Indonesia-sebagai jawaban atas masalah pendidikan anak mereka. Sehalus apapun kata-kata yang dipergunakan orangtua dalam menjelaskan alasan mereka memilih homeschooling untuk anak mereka, keputusan itu tetap menyiratkan adanya ketidakpuasan pada sekolah formal. Sekolah formal dianggap tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Maka dialihkanlah pendidikan dari sekolah ke rumah. Alexander Sutherland Neill (1883-1973) memiliki posisi sama terhadap sekolah formal. Alih-alih membuat anak-anak cocok dengan sekolah, ia membuat sekolah yang menurutnya cocok untuk anak-anak. Maka pada 1921, ia dirikan Summerhill School. Pada mulanya Summerhill berlokasi di Jerman, kemudian pindah ke Austria, dan terakhir menetap (sampai sekarang) di Leiston, Suffolk, Inggris, sekitar 160 km dari London. Kepindahan-kepindahan ini dikarenakan tidak semua negara mengizinkan sekolah nyentrik semacam Summerhill terselenggara. Bagaimana tidak, ide dasar Summerhill nyaris berkebalikan dengan kebijakan tentang penyelengaraan pendidikan formal di negara mana pun. Jika anda baca buku "Summerhill School, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan" ini, anda akan tahu mengapa. Neill menganggap sekolah pada umumnya sangat membosankan dan tidak berguna buat anak-anak. Anak-anak dicekoki dengan hal-hal yang sebenarnya belum tentu terpakai dalam kehidupan mereka kelak. Saat lulus anak tidak tahu how to survive karena ia tidak pernah belajar bagaimana sebenarnya harus hidup. Sekolah mengajarkan apa-apa yang hanya terpakai di ruang-ruang kelas, bukan apa-apa yang akan anak-anak hadapi dalam dunia nyata di luar sana. Belum lagi hubungan guru dan murid yang bersifat paternalistik. Guru adalah dewa yang serba tahu, serba benar, dan serba berkuasa. Sementara murid seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Harus selalu patuh dan dipilihkan segala sesuatunya. Hubungan seperti itu membuat anak menjadi inferior sepanjang hidupnya. Ketakutan terhadap guru kelak dijabarkan menjadi ketakutan terhadap hidup. Maka jadilah mereka orang-orang yang selalu manut pada perintah para penguasa. Membutakan mata terhadap ketidakadilan meskipun jelas-jelas tengah terjadi di depan batang hidung mereka. Dalam istilah Neill, "guru menjadi penggembala yang membuat kambing-kambing bersuara sama, embik.. embik..." Anak-anak yang berani menentang dan mengkritik gurunya malah dianggap anak bandel yang sudah sepantasnya disetrap dan diganjari hukuman. Lain halnya dengan Summerhill. Boarding school untuk anak usia TK hingga SMA ini tidak mewajibkan anak-anak mengikuti pelajaran-pelajaran yang ditawarkan sekolah. Tidak ada ujian yang wajib ditempuh. Tidak ada secuil pun kewajiban yang harus ditunaikan di sana kecuali tidak boleh mengganggu orang lain. Anak boleh melakukan apapun sekehendak hatinya sepanjang waktu, selama tidak mengganggu orang lain. Bagi mereka yang tidak tertarik pada hal-hal akademis boleh melakukan kegiatan-kegiatan di bengkel-bengkel kerja, laboratorium, ruang-ruang kesenian, teater, olahraga, perpustakaan, atau di ladang. Mereka bahkan boleh bermain saja berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kalau perlu. Anak dibebaskan sepenuhnya untuk mengelola diri mereka sendiri. Mereka boleh mempelajari hanya apa yang mereka suka. Anak belajar memilih dan mengambil sendiri keputusan yang ia rasa terbaik bagi dirinya dan belajar menikmati manis-pahit konsekuensi dari pilihannya. Tidak ada jurang pemisah antara guru dan murid. Guru dipanggil dengan nama depan mereka. Summerhill membebaskan anak dari indoktrinasi agama, moral, politik, dan pembentukan karakter. Peraturan sekolah dibuat sendiri oleh seluruh anggota komunitas Summerhill melalui Rapat Umum yang diselenggarakan setiap pekan. Guru dan murid sama-sama punya satu suara. Dalam rapat itu, siapa yang merasa pernah diganggu oleh orang lain, boleh mengadukannya dan rapat akan memutuskan konsekuensi apa yang pantas diberikan pada si terdakwa yang terbukti bersalah. Guru yang dirasa mengganggu anak atau merugikan sekolah pun boleh "diadili" dalam forum ini. Terdakwa maupun suara minoritas yang merasa keputusan rapat tidak adil, boleh naik banding. Tidak ada yang disebut Margaret Mead sebagai "tirani komunitas" yang menindas individu. Setiap pekan pemimpin rapat dipilih secara bergiliran sehingga setiap siswa mendapat kesempatan yang sama untuk belajar memimpin dan berbicara di depan publik. Siswa senior dipilih menjadi ombudsman yang bertugas menerima keluhan dari mereka yang pernah diganggu orang lain sekaligus melaporkannya pada forum di saat rapat umum. Para siswa senior memang lebih peduli ketertiban dan keteraturan dibanding siswa-siswi junior yang masih egosentris. Dapat dikatakan merekalah jantung demokrasi yang dilaksanakan di Summerhill. Selain ombudsman, anak-anak juga membentuk komite-komite olahraga, teater, perpustakaan, pertiduran, dan lain-lain yang dipilih di antara mereka sendiri. Summerhill menjadi semacam miniatur masyarakat, bahkan negara. Bagi mereka yang memang ingin kuliah, biasanya baru benar-benar menggenjot diri untuk belajar hal-hal akademis menjelang ujian masuk perguruan tinggi saja. Tidak seperti siswa sekolah pada umumnya yang mempelajari hal tersebut belasan tahun sebelumnya. Dan ternyata banyak juga yang berhasil lolos. Lulusan Summerhill beragam: ada yang jadi insinyur, dokter, dosen, pemusik, pengusaha, mekanis, koki, editor, guru, juru kamera, petani, pengrajin, dan segala macam profesi lainnya. Tapi satu hal yang sama: mereka sama-sama berpikiran maju, percaya diri, terbuka, jujur, tekun, optimistis, dan di atas segalanya, berbahagia. Neill memang menganggap lebih baik seseorang menjadi tukang sapu yang bahagia (meskipun Summerhill belum pernah mencetak tukang sapu) ketimbang sarjana neurotik. Ide Summerhill bagi saya memang terlampau ekstrem untuk diterapkan pada anak-anak kita. Hemat saya, anak belum memiliki cukup pengalaman hidup seperti halnya orang-orang dewasa sehingga referensi untuk dapat memilih segala sesuatunya sendiri masih sangat minim. Sampai usia remaja, saya rasa anak juga sebaiknya masih tinggal bersama orangtuanya agar dapat menerima cukup kasih sayang yang mereka butuhkan. Tapi, meskipun tidak sepenuhnya sepakat dengan cara mendidik yang ditempuh Neill, banyak juga ide-ide Neill yang saya rasa harus kita akui konstruktif. Neill memandang kehidupan di luar kelas lebih penting ketimbang di dalam kelas. Neill ingin anak-anak belajar tentang hidup secara utuh, bukan hanya belajar hal-hal yang bersifat akademis. Seperti Paulo Freire, Neill sepenuhnya mendukung egaliterianisme dalam proses pendidikan. Anak boleh berbeda dan berani menjadi dirinya sendiri tanpa dikuasai rasa takut pada apapun dan pada siapapun. Anak harus menyadari haknya sebagai manusia dan harus memperjuangkan kebahagiaanya. Selain itu, Neill juga memberi kesempatan pada anak untuk benar-benar belajar menjadi anggota komunitas sesungguhnya. Kebebasan yang diberikan Neill pada anak untuk ikut atau mangkir dari pelajaran-pelajaran yang ditawarkan sekolah pun dapat dijadikan tantangan oleh guru agar selalu kreatif menciptakan suasana belajar yang fun. Seperti homeschooling, Summerhill layak dijadikan cermin bagi sekolah formal manapun untuk selalu meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Harus selalu kita pertanyakan apakah anak-anak telah mempelajari hal-hal yang benar-benar mereka butuhkan dalam kehidupan mereka kelak. Buku yang edisi aslinya terjual 4 juta copy ini berguna bagi semua praktisi pendidikan untuk bercermin. Terlebih bagi para pembuat kebijakan yang menyusun kurikulum sekolah-sekolah formal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline