Cerita, dalam konteks penarasian pariwisata, semestinya tumbuh dan dan berkembang di kehidupan sehari-hari masyarakat, bukan rekaan industri jasa wisata atau fantasi kreator konten. ( Interval : Esai-Esai Kritis Tentang perjalanan dan Pariwisata – Sarani Pitor Pakan)
Perjalanan liburan yang melekat dalam ingatan saya adalah saat memutuskan bepergian ke Karimunjawa bersama sekelompok teman. Kami memanfaatkan liburan akhir pekan ditambah dengan tanggal merah saat itu – saya lupa peringatan apa pada saat itu –. Kami punya waktu lima hari untuk melarikan sejenak dari kejenuhan aktivitas sehari-hari.
Tahun 2012 dan satu dekade sudah terlewatkan saat saya mengunjungi Karimunjawa, perjalanan liburan tersebut masih tersimpan dengan jelas dalam memori ini. Bukan karena untuk pertama kalinya saya melihat keindahan laut Indonesia, tapi lebih dari kesan yang mengaduk emosi ini : tentang keramahan Indonesia.
Suatu Hari Nanti, Aku Akan Kembali Liburan ke Karimunjawa
Saya hampir saja minta balik ke Jakarta saat kami menunggu penyeberangan kapal ke Karimunjawa. Teman saya mengatakan bahwa penyeberangan memakan waktu sekitar enam jam dan menyarankan untuk minum obat anti mabuk. Sebagai orang yang belum pernah terjebak pada perjalanan laut selama itu, tentu banyak ragam ketakutan yang terlintas di benak saya.
Saat itu saya menyalahkan diri atas kebodohan yang tergiur melakukan liburan bersama teman komunitas traveling ke Karimunjawa tanpa tahu soal destinasi tersebut. Pagi itu, di tengah kegalauan saya menguatkan diri untuk tetap melanjutkan perjalanan. Sebuah keputusan yang tidak saya sesali di kemudian hari.
Setelah melewati enam jam perjalanan laut, saat tiba di pelabuhan kami dijemput oleh mobil L-300 yang mengantarkan ke penginapan. Setelah istirahat sejenak, selepas ashar kami diajak untuk melihat penangkaran penyu.
Kami menikmati sore menjelang maghrib dengan tenang dan tentu saja dengan euforia bahagia. Tak ada yang memburu waktu untuk cepat-cepat menyudahi kegiatan berenang di laut atau sekedar menikmati pemandangan laut yang indah.
Pun ketika malam tiba, kami disajikan makanan yang biasa ada di rumah. Tidak terlalu mewah, sederhana tapi bermakna dan penuh gizi ; nasi, lauk dan sayuran serta sambal. Dan, setiap malam kami diberi kesempatan waktu bebas yang bisa dimanfaatkan berbaur dengan masyarakat lokal.